Ijtihad Fikih Peradaban: Relasi Agama dan Budaya dalam Hukum Keluarga di Indonesia

Gerakan pembaharuan hukum Islam melalui model inkulturasi yang mensinergikan antara teks dan konteks, berimplikasi pada semangat untuk melakukan pembacaan ulang atas berbagai teks- teks agama yang bercorak dogmatik atau logic of repeatation menuju logic of discovery. Dalam tradisi keilmuan Islam, semangat logic of discovery ini telah banyak dilahirkan oleh para pemikir Islam seperti at-Ṭūfī yang berpendapat bahwa kepentingan umum dapat membatasi (takhṣīṣ) al-Qur’an, sunnah, dan ijmā’ jika penerapan naṣ al-Qur’an, sunnah dan ijmā’ tersebut menyusahkan manusia.[6]

Konsep hukum Islam itu dapat disinergikan dengan konsep “budaya lokal” yang berarti pandangan hidup. Namun pada tataran awam, istilah budaya sering kali digunakan untuk menggambarkan tentang seni, padahal seni hanyalah bagian dari sebuah budaya, dan budaya memiliki makna dan maksud yang lebih besar dari seni.

Budaya adalah sistem pengetahuan, gagasan, dan ide yang dimiliki oleh suatu masyarakat, baik yang disadari maupun yang tidak, yang berfungsi sebagai landasan pijak dan pedoman bagi masyarakat pendukung sistem itu dalam bersikap dan berperilaku sesuai dengan lingkungan tempat mereka berada. Untuk itu, budaya atau kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat memiliki “sesuatu” kekuatan yang menjadi pengarah bagi manusia dalam menjalani kehidupan mereka sehari-hari, baik di bidang ekonomi, seosial, politik, kesenian dan sebagainya.

Oleh karena itu, ketika Nabi Muhammad Saw didatangkan untuk mengajarkan Islam, beliau tidak hanya melakukan perbaikan- perbaikan terhadap sistem sosial dan ibadah yang ada, tetapi juga di satu sisi tetap mempertahankan norma positif dari tradisi lama. Dengan demikian, maka sesungguhnya telah terjadi “kompromi” antara Tuhan dan manusia melalui jalan risalah Nabi Muhammad Saw dalam menciptakan Islam (keselamatan).

Sebagai contoh dalam hal hukum keluarga adalah, masalah poligami (ta’addud az-zaujat) yang telah dipraktekkan oleh masyarakat Arab pra-Islam tanpa batas. Ketika Islam datang, praktek tersebut tetap diakomodir sebagai bagian dari ajaran agama, namun dengan berbagai revisi, seperti pembatasan jumlah istri.[7]

Masih banyak contoh-contoh lain yang menunjukkan adanya “kompromi” yang panjang antara Allah melalui risalah Muhammad Saw dengan budaya lokal dalam pembentukan hukum Islam. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemahaman tunggal di masyarakat yang menjelaskan bahwa hukum Islam hadir secara top-down menjadi terkikis karena contoh-contoh di atas.

Pemahaman bahwa hukum Islam sesungguhnya hadir pula secara bottom-up harus mulai dipegang oleh setiap pengkaji hukum Islam, sebagai sebuah proses pembentukan hukum yang mengakomodasi budaya lokal yang terbentuk dan mapan di dalam masyarakat.

Bagaimana dalam Konteks Hukum keluarga di Indonesia?

Jika dilihat dari perkembangan pembaharuan hukum keluarga di dunia muslim, maka sesungguhnya Indonesia telah tertinggal dalam melakukan pembaharuan hukum keluarga.[8] Selanjutnya dalam tataran implementatif, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam ternyata belum membumi di Indonesia. Terbukti, umat Islam masih lebih memilih aturan fiqh daripada aturan hukum dari pemerintah di atas, dengan banyaknya kasus perkawinan di bawah tangan, bahkan dilakukan oleh pejabat negara sebagai pelaksana undang-undang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll