Antara Ruang Ilmu dan Tekanan Fatwa

Membela Nalar, Menjaga Ruang Ilmu

Beberapa hari terakhir, saya—dan mungkin banyak rekan sejawat di lingkungan IAIN Manado—diliputi rasa geram dan kecewa yang mendalam atas pembatalan diskusi buku Menyingkap Tabir Kebenaran Ahmadiyah karya Dr. Samsi Pomalingo, MA, akademisi dari Universitas Negeri Gorontalo.

Diskusi yang sejatinya merupakan bagian dari tradisi akademik justru terjegal oleh tekanan moral dan institusional dari pihak luar, khususnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) Manado dan Sulawesi Utara, yang menginstruksikan pembatalan kepada Rektor IAIN Manado.

Yang lebih menyedihkan, sejumlah dosen dan akademisi IAIN Manado justru menjadi bagian dari struktur MUI di kedua tingkatan tersebut. Namun, kehadiran mereka di MUI tampaknya tidak cukup kuat—atau mungkin tidak cukup dimanfaatkan—untuk menjadi jembatan dialog yang sehat antara ruang akademik dan forum keagamaan. Di sinilah letak persoalan epistemologis sekaligus etis yang patut kita kritisi bersama.

Sebagai lembaga pendidikan tinggi keislaman, IAIN Manado—terlebih dengan visi sebagai “Kampus Multikultural”—berdiri di atas prinsip ta’addudiyah (pluralitas), inklusivitas, dan moderasi beragama.

Diskusi akademik tentang Ahmadiyah—atau kelompok mana pun dalam sejarah Islam—bukanlah bentuk pembelaan, apalagi legitimasi terhadap keyakinan tertentu. Ia merupakan bagian dari upaya akademis untuk memahami realitas sosial-keagamaan secara faktual. Kita tidak sedang mengampanyekan keyakinan, melainkan menggelar ruang berpikir.

Ironisnya, pelarangan semacam ini justru mencederai nilai-nilai keilmuan dan kebebasan akademik yang selama ini kita junjung tinggi. Lebih ironis lagi, mereka yang mestinya berdiri sebagai penjaga ruang dialog justru ikut berada dalam barisan represi. Akademisi IAIN Manado yang juga berada di tubuh MUI seharusnya berperan sebagai mediator, bukan sekadar eksekutor wacana tunggal.

Mereka memiliki otoritas keilmuan, akses komunikasi, dan kedekatan struktural yang mestinya digunakan untuk menjelaskan bahwa diskusi buku bukanlah tindakan subversif terhadap ajaran Islam, melainkan bentuk tanggung jawab intelektual untuk mengurai kompleksitas sejarah dan realitas keagamaan di Indonesia.

Kita perlu jujur bertanya: apakah keberadaan akademisi di lembaga keagamaan seperti MUI benar-benar menjadi nilai tambah bagi nalar keumatan, atau justru terjebak dalam kompromi-kompromi kekuasaan simbolik yang membuat mereka gamang dalam bersikap?

Jika keberadaan kita sebagai akademisi tidak lagi bisa menyuarakan pentingnya kebebasan berpikir, lalu di mana letak fungsi transformasi ilmu yang selama ini kita ajarkan di ruang-ruang kelas? Bukankah Rasulullah SAW sendiri membuka ruang dialog, bahkan terhadap musuh-musuh ideologisnya? Bukankah tradisi ijtihad dalam Islam justru lahir dari keberanian menyoal, menggugat, dan menguji ulang kebenaran?

Ke depan, kita perlu merefleksikan ulang posisi kita sebagai akademisi yang juga menjabat di lembaga-lembaga keagamaan. Menjadi bagian dari MUI tidak boleh berarti kehilangan keberpihakan pada ilmu. Kita bukan sekadar penyampai fatwa, tetapi penjaga nalar. Dan jika ruang-ruang akademik terus dikebiri dengan alasan stabilitas moral semata, maka kita sedang menyaksikan kemunduran paling menyakitkan dari peradaban ilmu.

Wallahu a‘lam.

Arhanuddin Salim
Dosen FTIK IAIN Manado

Scroll