Ide kontekstualisasi Fikih, yakni menetapkan hukum-hukum Fikih berdasarkan konteks memiliki signifikansi yang positif. Problematika modernitas yang tidak dapat dijawab dengan Fikih klasik secara holistik memberikan ruang baru bagi para ulama untuk merumuskan Fikih yang mampu merespons perkembangan zaman.
Ada dua proyek besar dalam diskursus tersebut, yakni pembaruan normativitas Fikih dan pembaruan ushul Fikih sebagai metodologi ijtihad. Diskursus pembaruan ini dapat memperjelas posisi Fikih kontemporer terhadap kajian Fikih klasik.
Yusuf al-Qaradawi misalnya mengatakan bahwa Fikih kontemporer tidak hanya memberikan solusi terhadap permasalahan-permasalahan terkini, Namun juga sekaligus menjadi review kritis kontruktif terhadap pembacaan Fikih klasik dari segi substansi dan metodologi.
Hal tersebut seperti yang diungkapkan KH Sahal Mahfudh dalam Fikih sosialnya bahwa perlu ada pembacaan ulang teks-teks Fikih terhadap realitas baru di masyarakat yang semakin berkembang sehingga kemaslahatan sebagai tujuan dari agama dapat terealisasikan.[1]
Memahami Hukum Islam: Dari Teks ke Konteks
Pemahaman dan penerapan hukum Islam di negara-negara Arab (misalnya Arab Saudi), tidak harus sama dengan negara-negara muslim lainnya (misalnya Indonesia)”.[2] Lalu, dimanakah letak nilai-nilai Islam tersebut? Jawabannya adalah pada sumber utama yang datang kepada umat Islam melalui jalan risalah Muhammad Saw, yakni wahyu suci dari Allah swt, baik direct ataupun melalui wasilah (perantara) malaikat Jibril as.
