Ngaji Adab Bareng Media: Lirboyo dan Pelajaran Buat Trans7

Dalam tradisi pesantren, ngaji itu tidak selalu soal kitab kuning. Ada satu pelajaran penting yang selalu ditanamkan sejak awal: ngaji adab. Sebelum santri diajari ilmu, mereka belajar bagaimana bersikap kepada guru, kepada ilmu, dan kepada sesama.

Itulah mengapa, penghormatan santri kepada kiai bukanlah paksaan. Itu lahir dari keyakinan bahwa keberkahan ilmu datang lewat adab. Maka, ketika media menggambarkan adab itu dengan cara yang keliru, wajar jika hati para santri terusik.

Beberapa hari lalu, Trans7 menayangkan sebuah program yang menyorot kehidupan santri Pesantren Lirboyo. Sayangnya, tayangan itu lebih menonjolkan sisi yang dianggap “unik” dan “aneh” ketimbang makna sebenarnya. Adegan santri jongkok, hormat kepada kiai, dan adab lainnya ditampilkan dengan nada yang seolah-olah lucu atau aneh.

Bagi kami, ini bukan sekadar tayangan televisi. Ini menyangkut marwah pesantren, warisan adab yang kami jaga turun-temurun. Adab itu bukan konten hiburan, tapi ruh dari proses pendidikan kami.

Media massa mestinya menjadi jembatan pemahaman, bukan sumber salah tafsir. Kalau ingin mengangkat pesantren, mestinya diawali dengan tabayyun — klarifikasi dan pemahaman konteks. Santri saja, sebelum bicara tentang suatu hal, harus ngaji dulu. Masa media besar malah asal cuplik dan potong-potong?

Pesantren tidak anti kritik. Tapi kritik itu ada caranya: dengan adab. Kalau santri saja tidak boleh bicara ngawur soal kiai, mestinya media juga belajar etika sebelum menyiarkan hal-hal yang menyangkut lembaga keagamaan.

Kasus Lirboyo dan Trans7 ini memberi pelajaran penting. Bagi media, agar lebih sensitif dan hati-hati dalam membingkai realitas pesantren. Jangan hanya dilihat dari kacamata luar, apalagi selera sensasi. Bagi pesantren sendiri, saatnya menguasai narasi. Santri sekarang tidak hanya bisa ngaji, tapi juga bisa menulis, membuat konten, dan menjelaskan makna adab ke publik.

Pada akhirnya, media dan pesantren perlu saling belajar. Media belajar ngaji adab, pesantren belajar menyampaikan nilai-nilai dengan bahasa publik. Kalau dua dunia ini bisa saling tabayyun dan saling hormat, insyaAllah tidak akan ada lagi tayangan yang menyinggung, dan masyarakat pun akan lebih memahami bahwa di balik kesederhanaan santri, ada peradaban ilmu yang luhur.

Penulis:
M. S. Tahir
(Kepala UPT Perpustakaan IAIN Manado)

Scroll