Setiap tahun umat Islam memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan berbagai tradisi mulai dari pembacaan shalawat, ceramah, hingga kegiatan sosial. Suasananya penuh semangat religius sekaligus kebersamaan. Namun, jika kita hanya berhenti pada seremoni, kita kehilangan makna paling mendasar dari peringatan ini.
Maulid Nabi seharusnya menjadi momentum refleksi: bagaimana meneladani kepemimpinan Rasulullah dalam menghadapi tantangan zaman, termasuk krisis kepemimpinan yang kini dirasakan bangsa Indonesia.
Fakta yang tak bisa dihindari adalah bahwa kepercayaan publik terhadap para pemimpin semakin menipis. Berbagai survei dan pemberitaan menunjukkan citra politik yang sering kali tercoreng oleh praktik korupsi, penyalahgunaan wewenang, serta politik transaksional.
Sementara itu, kesenjangan sosial-ekonomi semakin melebar: sebagian kecil menikmati kekayaan berlimpah, sementara sebagian besar rakyat masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar. Di tengah kondisi itu, rakyat sering kali merasa jauh dari para pemimpinnya. Aspirasi masyarakat kecil tenggelam oleh suara-suara elite yang sibuk menjaga kepentingan kelompok.
Ketika janji politik hanya berhenti pada slogan, yang lahir adalah kekecewaan dan hilangnya kepercayaan. Bung Hatta pernah mengingatkan:
“Korupsi telah membudaya di negeri ini, dan itu merupakan musuh utama kemerdekaan yang kita perjuangkan.”
Ungkapan itu masih relevan hingga hari ini. Tanpa kepemimpinan yang bersih dan amanah, cita-cita kemerdekaan untuk menghadirkan keadilan sosial akan sulit tercapai.
Sejarah mencatat, Nabi Muhammad Saw hidup dalam masyarakat Arab yang kala itu mengalami krisis moral, sosial, dan politik. Kesenjangan sosial begitu tajam, kelompok lemah sering diperlakukan tidak adil, dan hukum hanya tajam ke bawah.
Namun, kehadiran Rasulullah perlahan mengubah wajah masyarakat itu. Teladan kepemimpinan beliau dapat dirangkum dalam empat sifat utama: shiddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan kebenaran), dan fathanah (cerdas).
Empat sifat inilah yang menjadi fondasi etika kepemimpinan Islam. Nabi menolak hidup mewah, meskipun sebagai kepala negara beliau bisa saja mengambil bagian besar dari kekayaan umat. Justru beliau memilih hidup sederhana, karena baginya kepemimpinan adalah amanah, bukan privilese.
Bayangkan jika sifat-sifat ini benar-benar dihidupkan dalam kepemimpinan Indonesia. Korupsi yang merugikan negara triliunan rupiah tidak akan punya ruang. Ketimpangan sosial bisa diatasi karena pemimpin benar-benar berpihak pada rakyat kecil. Dan kepercayaan publik akan pulih, sebab rakyat melihat konsistensi antara kata dan perbuatan.
Ketimpangan sosial di Indonesia hari ini bukan sekadar data statistik, tetapi nyata dirasakan sehari-hari. Di kota besar, gedung pencakar langit berdiri megah, sementara di sudut lain masih banyak keluarga yang kesulitan mengakses pendidikan dan kesehatan.
Laporan demi laporan memperlihatkan jurang antara kaya dan miskin kian menganga. Lebih parah lagi, korupsi seakan menjadi penyakit yang sulit disembuhkan. Dari level pusat hingga daerah, dari pejabat tinggi hingga aparat rendah, kasus korupsi terus bermunculan. Praktik ini bukan saja merugikan negara secara materi, tetapi juga menghancurkan moral bangsa.
Ketika rakyat melihat pemimpin yang korup, mereka kehilangan teladan, dan rasa percaya terhadap institusi negara runtuh. Dalam situasi seperti ini, momentum maulid harus mengingatkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda:
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, yang kalian doakan dan mereka mendoakan kalian.”
Pemimpin yang baik bukan hanya dicintai karena citranya, tetapi karena integritas dan keberpihakannya pada rakyat.
Kepercayaan adalah modal sosial yang sangat penting dalam membangun bangsa. Tanpa kepercayaan, rakyat akan apatis, tidak peduli, bahkan bisa memilih jalan pintas yang merusak tatanan. Hilangnya kepercayaan publik terhadap pemimpin hari ini berbahaya, sebab ia dapat merusak ikatan sosial yang seharusnya memperkuat demokrasi.
Rasulullah Saw memberikan contoh berbeda. Beliau digelari al-Amin orang yang dapat dipercaya jauh sebelum diangkat menjadi nabi. Gelar itu muncul bukan karena pencitraan, melainkan karena konsistensi perilaku beliau sejak muda: jujur dalam berdagang, adil dalam memutuskan perkara, dan rendah hati dalam pergaulan. Inilah yang membuat masyarakat percaya kepadanya bahkan sebelum risalah Islam disampaikan.
Ada beberapa pelajaran yang bisa ditarik dari kepemimpinan Rasulullah Saw untuk memperbaiki situasi di Indonesia:
- Amanah dalam kekuasaan. Jabatan bukanlah hadiah, melainkan tanggung jawab. Seorang pemimpin harus siap mengemban beban rakyat, bukan menambah beban rakyat.
- Kesederhanaan sebagai gaya hidup. Rasulullah menunjukkan bahwa seorang pemimpin tidak harus hidup bermewah-mewah untuk dihormati. Justru kesederhanaan membuatnya dekat dengan rakyat.
- Keadilan tanpa pandang bulu. Nabi tidak membeda-bedakan hukum berdasarkan status sosial. Pernah suatu ketika beliau menegaskan bahwa jika putrinya sendiri mencuri, ia pun akan dijatuhi hukuman yang sama. Pesan ini relevan untuk menegakkan hukum tanpa tebang pilih di Indonesia.
- Kepemimpinan yang mendengar rakyat. Rasulullah dikenal sering bermusyawarah, bahkan dengan sahabat biasa. Demokrasi Indonesia seharusnya meneladani tradisi musyawarah ini, bukan hanya mengedepankan kepentingan elite.
Gus Dur, Presiden ke-4 RI, pernah berpesan:
“Pemimpin yang baik bukanlah yang menjadikan rakyat bergantung padanya, tetapi yang membuat rakyat mampu berdiri di atas kaki sendiri.”
Kalimat ini sejalan dengan teladan Nabi Muhammad Saw yang membebaskan manusia dari penindasan dan membangun kemandirian umat.
Tentu saja perubahan tidak bisa hanya digantungkan pada para pemimpin. Masyarakat juga harus aktif mengawal. Rakyat perlu berani menuntut transparansi, berpartisipasi dalam pengawasan, dan tidak terjebak dalam politik uang.
Maulid Nabi dapat menjadi energi moral bagi seluruh rakyat untuk kembali menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Pancasila dan konstitusi kita sebenarnya sudah sejalan dengan nilai-nilai kenabian: menjunjung keadilan sosial, kemanusiaan, dan musyawarah. Yang dibutuhkan adalah konsistensi untuk menghidupkannya dalam praktik politik dan pemerintahan.
Kelahiran Nabi Muhammad SAW telah mengubah sejarah manusia. Dari masyarakat jahiliyah yang terbelenggu ketidakadilan, beliau membangun peradaban yang berlandaskan iman, ilmu, dan akhlak.
Kini, di Indonesia, kita merindukan pemimpin yang benar-benar meneladani Rasulullah: jujur, adil, sederhana, dan berpihak pada rakyat kecil. Maulid Nabi tahun ini seharusnya tidak hanya menjadi ritual tahunan, tetapi juga alarm moral bagi bangsa. Jika pemimpin mau belajar dari teladan Rasulullah, niscaya bangsa ini akan terhindar dari jurang krisis yang lebih dalam. Sebab, sebagaimana sabda beliau, “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” Indonesia butuh pemimpin yang melayani, bukan dilayani.
Penulis:
Muhammad Kamil Jafar N
Dosen Sosiologi Agama IAIN Manado
