Efisiensi dan Keberkahan Harta: Meneladani Nasihat Imam Syafi’i dan Imam A.G. Nasaruddin Umar dalam Praktek Kerja   

Imam Syafi’i pernah memberikan nasehat yang sangat inspiratif,  juga relevan dalam konteks kekinian. Suatu hari, seorang pria datang menemuinya dengan wajah penuh kegelisahan. Langkahnya berat, seolah membawa beban yang tak terlihat. Setelah memberi salam dengan penuh hormat, ia duduk di hadapan sang imam dan menarik napas dalam sebelum akhirnya berbicara.

Wahai Imam Syafi’i,” katanya dengan suara bergetar, “ada sesuatu yang sangat ingin kusampaikan kepadamu. Aku bekerja sebagai buruh dengan upah lima dirham setiap harinya. Namun, gaji yang kudapatkan itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupku bersama keluargaku. Setiap hari, aku merasa semakin terhimpit oleh keadaan. Apa yang harus aku lakukan?

Pria itu kembali menemui Imam Syafi’i, berharap mendapat jawaban yang bisa mengubah nasibnya. Namun, betapa terkejutnya ia ketika Imam Syafi’i justru memberikan nasihat yang tak pernah ia duga.

“Pergilah, temui majikanmu, dan mintalah agar gajimu dikurangi menjadi empat dirham,” kata sang imam dengan tenang.

Dahi pria itu berkerut, pikirannya dipenuhi kebingungan. Bagaimana mungkin gaji yang sudah tak mencukupi justru harus dikurangi? Namun, meskipun hatinya dipenuhi keraguan, ia tetap mengikuti nasihat tersebut.

Beberapa waktu berlalu, tetapi kehidupannya tak juga membaik. Dengan hati yang masih diliputi kegelisahan, ia kembali menemui Imam Syafi’i.

“Wahai Imam, aku sudah mengikuti nasehatmu, tetapi kehidupanku tetap sulit. Apa yang harus kulakukan sekarang?”

Imam Syafi’i tersenyum tipis, lalu berkata, “Pergilah sekali lagi. Mintalah kepada majikanmu agar gajimu dikurangi lagi, kali ini menjadi tiga dirham.”

Pria itu semakin heran, tetapi ia tetap menurut. Kali ini, hatinya benar-benar penuh tanda tanya. Mengapa harus lebih sedikit? Bukankah itu justru akan semakin memperburuk keadaannya?

Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi. Beberapa hari kemudian, ia kembali menemui Imam Syafi’i, kali ini dengan wajah yang jauh lebih cerah.

“Wahai Imam, aku datang untuk berterima kasih. Aku tidak mengerti bagaimana ini bisa terjadi, tetapi dengan gaji tiga dirham, hidupku justru terasa lebih lapang. Semua kebutuhan keluargaku terpenuhi, dan aku tidak lagi merasa kekurangan. Apa rahasia di balik semua ini?” tanyanya penuh keingintahuan.

Imam Syafi’i tersenyum penuh hikmah, siap mengungkapkan pelajaran besar di balik semua kejadian itu. Sang imam menjelaskan bahwa pekerjaan yang ia jalani itu tidak berhak mendapatkan upah lebih dari 3 dirham. Dan kelebihan 2 dirham itu telah mencabut keberkahan harta yang ia miliki ketika bercampur dengannya.

Lalu Imam Syafi’i membacakan sebuah sya’ir:

جمع الحرام على الحلال ليكثره

دخل الحرام على الحلال فبعثره

Dia kumpulkan yang haram dengan yang halal supaya ia menjadi banyak. Yang haram pun masuk ke dalam yang halal lalu ia merusaknya. Bayangkan sebuah kendaraan yang membutuhkan bahan bakar berkualitas agar dapat berjalan dengan baik.

Jika tangkinya diisi dengan bensin murni, mesin akan bekerja optimal, membawa kendaraan melaju dengan lancar. Namun, jika demi memenuhi tangki agar terlihat penuh, bensin itu dicampur dengan air, alih-alih membuat kendaraan berjalan lebih jauh, justru mesin akan rusak dan kendaraan akan mogok.

Begitu pula dalam kehidupan. Banyaknya harta dan pekerjaan memang tampak menguntungkan, tetapi jika diperoleh tanpa memperhatikan keberkahan—tanpa ibadah, kejujuran, atau memperhitungkan akibat buruknya—bukannya membawa kebahagiaan, justru bisa menjadi beban yang merusak ketenangan hidup.

Barangkali kisah ini bisa menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua dalam bekerja. Jangan berharap jabatan tinggi lalu etos kerja tidak equal/seimbang dengan gaji yang diupahkan pada kita. Pejalanan dinas yang kita lakukan dalam dan luar negeri tidak berefek maksimal pada kemajuan lembaga sebagai barometer untuk kemajuan masyarakat secara luas. 

Mungkin lebih besar unsur rekreasinya ketimbang kreasinya sebagaimana yang disinyalir oleh Bapak Menteri Agama juga Imam Besar Istiqlal Jakarta Prof. Dr. A.G. H. Nasaruddin Umar, M.A. Bila keluar daerah lebih besar unsur rekreasi dengan beli oleh-oleh dan pernak-pernik, juga  aksesoris dan bila seminar dan pertemuan penting secara nasional bahkan internasional cenderung tidur di ruangan bila tidak, tidur di kamar dan bahkan  keluar jalan-jalan di Mall dan semacamnya. 

Semangat Pak Menteri seharusnya menjadi teladan dalam menegakkan disiplin dan etos kerja, memastikan bahwa setiap perjalanan dinas berorientasi pada kepentingan lembaga dan kemaslahatan bersama, bukan sekadar pemenuhan kepentingan pribadi, keluarga, atau kelompok tertentu.

Seyogyanya lebih besar kresinya dalam menciptakan suasana akademik dan mendatangkan uang besar dengan kepercayaan yang terbangun guna memajukan lembaga daripada unsur rekreasi, agar lembaga yang dipimpinnya lebih berdaya saing yang tinggi ditopang dengan teknologi yang maju. 

Nasehat Imam Syafi’i dan Imam A.G. (Anrong Gurutta) Prof, Dr. H. Nasaruddin Umar, MA, menarik untuk direnungkan bahwa Jangan terlalu berharap gaji,  dan tunjangan besar bahkan mengharap pemberian dari anak buah ketika keluar daerah sementara pekerjaan kita belum nampak dan dirasakan umat.  Dan jangan berbangga dulu mendapatkan gaji besar dan tunjangan besar padahal etos kerja sangat lemah atau tidak seimbang dengan gaji yang diterima. 

Bila gaji dan tunjangan yang kita terima tidak seimbang dengan kerja, artinya kita sudah menerima harta yang bukan hak kita. Itu semua akan menjadi penghalang keberkahan harta yang ada, dan mengakibatkan hisab yang berat di akhirat kelak. Harta yang tidak berkah akan mendatangkan  permasalahan hidup yang membuat kita susah, sekalipun bertaburkan barang – barang mewah.

Uang banyak di bank tapi setiap hari cekcok dengan istri. Anak-anak tidak mendatangkan kebahagiaan sekalipun jumlahnya banyak. Dengan teman dan jiran sekitar tidak ada yang baikan. Kendaraan selalu bermasalah. Ketaatan kepada Allah semakin hari semakin melemah. Pikiran hanya dunia dan dunia. Harta dan harta. Penglihatan selalu kepada  yang lebih dalam masalah dunia. Tidak pernah puas, sekalipun mulutnya melantunkan alhamdulillah tiap menit.

Kening selalu berkerut. Satu persatu penyakitpun datang menghampir. Akhirnya gaji yang besar habis untuk cek up ke dokter sana, periksa ke klinik sini. Tidak ada yang bisa di sisihkan untuk sedekah, infak dan amal-amal sosial demi tabungan masa depan di akhirat. Menjalin silaturrahim dengan sanak keluarga pun tidak. Semakin kelihatan mewah, pelitnya juga semakin menjadi. Masa bodoh dengan segala kewajiban kepada Allah. Ada kesempatan untuk shalat ya syukur, tidak ada ya tidak masalah.

Untuk menjadi pemimpin yang baik, hendaknya kita terlebih dahulu bersikap arif dan bijak dalam memperbaiki diri, menyelesaikan persoalan pribadi, serta memajukan kapasitas diri. Baru setelah itu, kita dapat berkontribusi dalam memperbaiki, menyelesaikan, dan memajukan umat. Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat bagi diri saya sendiri, para pembaca, dan kita semua, serta senantiasa membawa keberkahan dari Allah Swt.

Wallāhu A’lamu Bis-Sawab

Penulis:
Prof. Dr. Muh. Idris Tunru, M.Ag
(IAIN Manado)

Editor:
Rafiud Ilmudinulloh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll