Kata salam secara literal bermakna dua hal – sebagaimana penjelasan dalam KBBI – yakni “damai” sebagai makna aslinya, dan “pernyataan hormat” sebagai bentuk ucapan. Namun kedua pemaknaan tersebut tidak boleh dipisahkan, karena seseorang yang mengucapkan salam tentunya bermaksud untuk menghormati lawan bicaranya, dengan harapan hatinya menjadi aman dan damai berkat salam yang diterimanya.
Untuk itulah di Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak beberapa tahun ke belakang terdengar ucapan salam dari beberapa tokoh masyarakat dan agama yang mengakomodasi salam semua agama atau salam lintas agama di setiap pembukaan maupun penutup pidato atau sambutan, dan ini dijadikan sebagai sarana bertoleransi antar umat beragama di Indonesia.
Akan tetapi beberapa hari ini kita menyimak penjelasan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, berdasar pada hasil forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI yang digelar di Bangka Belitung, Kamis lalu (30/5) yang memutuskan bahwa mengucapkan salam lintas agama bukan implementasi dari toleransi, karena pengucapan salam merupakan doa yang bersifat ‘ubudiyah atau mengabdikan diri kepada Allah swt.
Berdasar pada ulasan tersebut, muncul pertanyaan, apakah penyampaian salam boleh digeneralisir sebagai bentuk ‘ubudiyah? Sedangkan situasi dan kondisi mampu “mengevaluasi” hukum sehingga hukum akan lebih dinamis dan bernilai shālih lî kulli zamān wa makān (mampu diterima dan menjadi solusi kapan dan di manapun ia berada).
Pada konteks ini kami ingin mendiskusikan, bahwa setiap perbuatan manusia yang mukallaf (terkena beban hukum), selain bernilai ‘ubudiyah ia juga dapat bernilai mu’amalah (hubungan manusia dalam interaksi sosial), termasuk mengucapkan salam.
Dan setidaknya menurut hemat kami, ada tiga dimensi pengucapan salam:
- Dimensi Personal, dimana pengucap salam berharap pahala dari Sang Maha Kuasa dari salamnya, sehingga salam tersebut hanya terucap dalam peribadatan, seperti salam dalam shalat atau ketika masuk ke dalam rumah. Pada bagian ini, konsep salam teruntuk muqarrabah (pendekatan diri) kepada Allah swt, sehingga pahala dan rahmat-Nya menyertainya;
- Dimensi Sosial, di mana salam diucapkan untuk saling menyapa antar sesama manusia, maka ragam salam akan ditemukan, baik karena keyakinan beragama maupun suku bangsa yang beragam. Pada konteks ini, bisa dipastikan bila pertemuan antar umat seagama ada harapan dan doa dari salam yang diucapkannya, tapi bila dengan umat yang berbeda, atau adat suku bangsa yang berbeda, maka salamnya berfungsi untuk menunjukkan keramah tamahan sebagai sesama manusia, sekaligus manifestasi dari ke-Maha Pengasih dan Penyayangnya Tuhan untuk seluruh umat manusia sebagai ciptaan-Nya. Maka pada konteks ini, keindahan kontak sosial begitu nampak, sehingga salam yang dilarang adalah salam kebencian dan caci maki;
- Dimensi Seremonial, di mana salam diucapkan pada acara-acara resmi, sehingga bila pertemuan resmi dilakukan oleh satu kelompok agama atau adat, tentu salam milik merekalah yang digunakan, namun ketika pertemuan dilakukan oleh masyarakat yang majemuk dan multikultur serta multiagama tentu dibutuhkan ucapan salam yang membuat satu sama lain senang dan bahagia karena merasa keberadaannya diakui dan tentunya dihormati, sehingga pilihan yang paling mudah adalah salam lintas agama. Pertanyaannya, adakah unsur ‘ubudiyah di dalamnya, menurut hemat kami tidak, karena tujuan utamanya (al-ghayah wa an-niyyah) adalah menuntaskan giat seremonial demi kepentingan toleransi yang mewujud menjadi rasa damai dan aman.
Lalu adakah dalil atas dimensi ketiga ini? Sebelum menjawabnya, sepertinya perlu disatukan frekuensi terlebih dahulu tentang kapan awal mula pelembagaan salam di dunia lalu menformalkannya sehingga ia dapat di klaim milik satu agama saja sehingga agama lain tidak boleh membuat salam yang sama karena akan terkena hukum plagiasi dan melanggar Hak Paten. Untuk menjawab ini kami kira cukup rumit, karena minimnya data-data faktual dan ilmiah, sehingga kedepan dibutuhkan riset khusus atas masalah tersebut.
Namun secara budaya, tiga agama samawi (Yahudi, Nasrani, dan Islam) memiliki akar bahasa yang sama dalam penyampaian salam, yakni “salām” dan “shalom”, sehingga ketika Nabi Muhammad saw mengirimkan surat kepada Raja Najasyi yang ditulis salam pertama bukanlah as-salām ‘alaikum, tapi as-salām ‘alā man ittaba’a al-hudā (semoga kesejahteraan dilimpahkan kepada yang mengikuti petunjuk Tuhan).
Salam Nabi Muhammad saw tersebut menggambarkan cara Beliau memuliakan seseorang, adapun pilihan kata atau diksi yang digunakan oleh Beliau adalah bagian dari bingkai sosiologis dan budaya, mengingat Raja Najasyi adalah seorang Nasrani – saudara kandung Islam – di daerah Ethipoia, yang sama-sama telah berada pada rel hidayah Allah swt, dan kata as-salām tentunya sudah sering terdengar di telinga sang raja karena kata tersebut juga terulang di Kitab Injil yang dipedomani oleh sang raja.
Bila pilihan kata di atas menjadi solusi di masa Rasulullah Muhammad saw, maka pilihan kata pada salam dengan menggunakan salam lintas agama sebagaimana yang maklum saat ini di Negara Kesatuan Republik Indonesia pada acara-acara resmi juga dapat menjadi solusi toleransi antar umat beragama. Dan atas gagasan berpikir tersebut, kami ingin mengajak agar sesama anak bangsa bisa lebih bijaksana dalam memahami dan mengimplementasikan toleransi, termasuk bahayanya mengeneralisir salam sebagai satu unsur ibadah lalu menafikan unsur muamalah dengan beragam konstruknya.
Indonesia adalah negara kaya akan agama dan budaya, dengan kemegahan keramah tamahannya, maka merawat Indonesia lebih penting dari sekedar merawat pribadi dan golongan. Wallahua’lam.
Penulis:
Prof. Dr. Ahmad Rajafi, M.H.I
Rektor IAIN Manado