Tradisi “Monuntul” Sambut Lebaran Idul Fitri di Bolaang Mongondow

Idulfitri memang merupakan hari rayanya umat muslim. Setelah sebulan berpuasa, umat muslim akan merayakan hari yang istimewah. Meski identik dengan kegiatan keagamaan, perayaan lebaran juga diwarnai sentuhan kebudayaan Indonesiadan berbagai tradisinya.

Di Indonesia, kita mengenal beberapa tradisi yang selalu dilakukan dari sebelum ramadan, menjelang Idulfitri, sampai setelah lebaran. Ada pula tradisi suku Bolaang Mongondow yang sampai saat ini masih di jalankan oleh umat muslim yang ada di Bolaang Mongondow yaitu Monuntul.

Deretan Lampu minyak terjejer indah sepanjang jalan. Di tanah lapangan, lampu-lampu minyak disusun dengan ragam pola: lafaz Allah dan Muhammad, mesjid dan simbo Islam lainnya.

Pemandangan itu yang akan kalian dapati bila berada di Bolaang Mongondow Raya, Sulawesi Utara, sepanjang tiga malam terakhir bulan Ramadan. Sebab saat itu malam terakhir bulan Ramadan. Sebab saat itu masyarakat muslim Bolaang Mongondow sedang merayakan tradisi Monuntul, salah satu tradisi Islam Nusantara di daerah ini.

Monuntul terambil dari bahasa setempat, bahasa Mongondow, yang berarti pasang menyalakan lampu. Jika lampunya belum terpasang atau belum menyala maka disebut tuntul dan kalau sudah menyela dinamakan monuntul. Jadi tradisi Monuntul maksutnya adalah tradisi pasang lampu atau menyalakan lampu. Disebut demikian karena ketika itu seluruh masyarakat muslim akan memasang beberapa lampu minyak di depan rumah, dan menyalakannya selepas Sholat Maghrib hingga selesai Subuh.

Tradisi monuntul dilaksanakan di tiga malam terakhir Ramadan malam ke 27-29. Saya belum tahu pasti kapan masyarakat muslim Bolaang Mongondow mulai melakukan tradisi ini, namun yang jelas Monuntul sudah berlangsung sangat lama. Jika ditaksir berdasarkan waktu awal mula masifnya Islam di wilayah ini, maka bisa jadi tradisi ini mulai ada di Bolaang Mongondow pada akhir 19 M.

Tradisi pasang lampu pun lahir untuk menerangi malam-malam gelap itu. Menjadi bagian dari refleksi diri manusia yang gelap akibat dosa, namun kembali menjadi terang (diampuni dosa-dosa) sebagai hasil dari puasa Ramadan.

Di masyarakat Bolaang Mongondow, ada pemahaman orang-orang tua yang menjadi motif dalam pelaksanaan Monuntul, bahwa malam-malam terakhir Ramadan merupakan waktu bagi para malaikat turun ke bumi. Jadi langit perlu diterangi hal ini tidak terlepas dari ajaran Lailatul qadar (malam kemuliaan). Sehingga sebagian meyakini bahwa untuk menyalahkan lampu dalam tradisi, Monuntul tidak bole sembarang, harus didahului dengan bacaan al-Qadr.

Lampu yang bisa digunakan dalam tradisi Monuntul adalah lampu botol berisi minyak tanah atau solar, ada juga yang masi mempertahankan penggunaan lampu lilin berbehan bakar minyak goreng. Ratusan bahkan ribuan lampu akan dinyalakan dimalam Monuntul. Menciptakan keindahan tersendiri di malam-malam terakhir Ramadan.

Di zaman sekarang, pelaksanaannya tidak hanya menggunakan lampu botol, namun juga sudah memakai lampu tumbler, sehingga semakin menambah daya tarik dari tradisi Monuntul.

Sebagai bagian dari tradisi Islam Nusantara yang ada dalam masyarakat muslim Bolaang Mongondow, pelaksanaan Monuntul menjadi penting untuk terus dilestarikan.

Penulis: Della Sani
Mahasiswa PAI6A IAIN Manado

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll