Meritokrasi Jabatan: Profesionalisme atau Cronyism?

Perdebatan semakin sengit, kelompok A ngeyel dan ngotot, calon pengganti yang tepat adalah dari mereka. Karena calon yang mereka usung sudah berpengalaman dan pernah mengikuti berbagai pelatihan. Sementara itu kelompok yang satu lagi bersikukuh bahwa yang layak dan pantas adalah si B karena mengacu kepada peraturan dan perundang-undangan yang berlaku hanya calon dari kelompok mereka yang memenuhi kriteria.

Mereka berpegang teguh pada aturan yang ada, peraturan adalah panglima tertinggi. Kepala Desa “Tayotada” pun belum mampu menyelesaikan perdebatan yang semakin meruncing. Setelah hampir 1 jam saling tuding dan jegal, maka kepala desa dengan kedua kubu sepakat untuk menyerahkan semua permasalahan kepada pihak yang berwenang secara administrasi dan aturan yang ada yakni pihak kecamatan. Semua sepakat walaupun bara-bara kecurigaan, prasangka buruk dan intimidasi masih menyala dalam relung hati mereka.

Seminggu kemudian datang WA dari pihak kecamatan, pemberitahuan sekaligus pennyerahan SK secara online. Yang menjadi pejabat pengganti adalah si C yang tidak pernah sama sekali honor di kantor tersebut. Semua terkejut, tidak menyangka, namun SK sudah dikirim ke Kepala Desa Tayotada. “Dia keponakan pimpinan pusat kita” ketua kelompok A bergumam lirih. “Tidak profesional dan nepotisme” ketua kelompok B menimpali. Beberapa detik kemudian, suasana kantor desa bagai berdiri di dekat perapian.

Cuplikan ilustrasi diatas barangkali sering mampir dalam kehidupan nyata entah itu dialami oleh teman kita, kerabat atau keluarga atau bahkan kita sendiri. Rasanya sangat langka skenario di atas absen di dalam dunia kerja khususnya yang berhubungan dengan birokrasi. Kalau drama itu tidak hadir maka sudah dipastikan anda atau kita tidak sedang berada di wilayah “Konoha”.

Ada sesuatu yang salah. Atau bisa jadi siklus kehidupan perkantoran tidak berjalan pada rotasinya dan boleh dikatakan “melawan kodrat alam” dimana semua orang memiliki hati layaknya malaikat. Bukankah pekerja yang kuat dan tangguh itu lahir dari proses yang keras yang ditempa dengan gempuran jegal menjegal, tackling sana sini layaknya bermain bola. Butuh durasi yang tidak hanya dalam hitungan menit tetapi lebih dari 8760 jam bahkan malah 87600 jam.

Pertanyaan sederhana yang barangkali muncul apakah semua jabatan membutuh jurus tackling dan sleeding lawan untuk mendapatkannya? Tentu tidak, hanya kausistis dan tidak boleh menggeneralisir dengan menghakimi bahwa setiap ada pemilihan pejabat (dalam lingkup apapun) disana ada penjegalan dan nepotisme. Hanya saja beberapa kejadian yang ada kebetulan memang erat kaitannya dengan “konektifitas” daripada profesionalisme dalam pemilihan calon SDM yang akan diangkat.

Bukan rahasia umum lagi bahwa setiap ada jabatan yang akan diisi maka hampir selalu ada kepentingan pihak tertentu yang terkadang tidak terdeteksi oleh CCTV dalam seri apapun atau merek apapun. Selalu ada kekuatan yang maha magis yang bisa disebut invisible hands yang turut ambil saham dalam mengguncang ”dadu” permainan, atau bahkan ada parties yang “adu mekanik” bongkar pasang orang-orang yang mereka like atau dislike.

Begitulah dunia birokrasi, mesti berdinamika dan bergejolak tidak terikat waktu dan aturan baku. Semua bisa cair sesuai dengan porsi dan keadaan bahkan sebaliknya bisa membeku dan tegang. Artinya adalah kalau belum siap membeku dan mencair maka sebisa mungkin hindari dulu kontestasi dalam pemilihan jabatan.

Menepi dari arena permainan adalah pilihan yang bijak demi menghindari conflict of interest yang terkadang tidak diketahui siapa enemy sesungguhnya pada akhirnya (kadang-kadang) kita sendiri yang menjadi bagian permainan tersebut.

Kalau bicara profesionalisme dalam artian penempatan personil dalam jabatan tertentu berdasarkan pada teori meritokrasi sudah dilakukan oleh orang-orang jauh sebelum generasi sekarang. Sebagaimana yang ditulis oleh Profesor Miftah Thoha di kolom opini Kompas (2018) Dinasti Han dan Qin (206-220SM) sudah menerapkan sistem meritokrasi dalam perekrutan personel untuk penempatan posisi tertentu. Mereka menerapkan serangkaian pelatihan dan juga seleksi berupa ujian bagi calon pejabat pemerintahan.

Hal yang menjadi bahan ujian mereka adalah mengenai pengetahuan, keterampilan, dan integritas. Setiap orang yang mempunyai skill dan kemampuan mempunyai hak yang sama untuk mengikuti seleksi dan pelatihan tanpa memandang label latar belakang, kelas sosial dan kedekatan personal.

Ada dua hal menarik yang perlu menjadi iktibar yang bisa diambil dari sejarah merit sistem yakni; spirit untuk menjadi pejabat yang bersih dan netral dalam menjalankan pemerintahan dan adanya regulasi yang jelas.

Yang pertama, jauh sebelum peradaban kita sekarang, semangat untuk bekerja profesional dan taat aturan sudah digaungkan dengan lantang. Ada niat dari pemangku kepentingan agar SDM yang mereka pakai di pemerintahan mempunyai nurani yang jujur, bersih, lurus, adil dan tentunya tidak parsial kepada kelompok tertentu tetapi universal untuk kebaikan semua. Spirit ini semestinya (dalam tataran ideal) sudah mem-fosil dalam diri setiap aparatur sipil negara.

Dalam pemahaman sederhana bahwa bekerja secara profesional, by system sudah menjadi ideologi yang tarafnya sudah berada pada prioritas harga mati. Tidak ada tawar menawar  apalagi diskon. Sehingga fokus dalam bekerja bukan lagi membahas mengapa dia dapat posisi itu, dia dekat dengan siapa, dia bayar berapa, akan tetapi lebih kepada bagaimana memajukan lembaga yang sudah merekrut kita. Silahkan melakukan inovasi dalam perubahan sehingga target pelayanan maksimal dan tentunya tercapai bagi yang bekerja di jalur pelayanan masyarakat.

Buatlah kebijakan yang menguntungkan semua pihak bukan hanya pihak tertentu bagi yang bekerja dalam pengambil keputusan. Tempatkanlah sesorang yang seseorang yang sesuai kapabilitas dan kapasitas bukan berdasarkan konektifitas dan komunitas jika bekerja dalam birokrasi pemerintahan.

Poin yang kedua yang patut kita ambil  ibrah adalah adanya regulasi atau sistem yang rigid yang mesti diterapkan dalam melakukan penempatan personel dalam suatu jabatan. Adanya aturan yang jelas dan lugas yang mesti menjadi sandaran dalam mengambil kebijakan yang tidak bisa dipreteli oleh pihak manapun.  Sangat luar biasa sekali pemikiran pendahulu kita jauh ratusan tahun bahkan ribuan tahun sebelum masehi, pemikiran mereka sudah sangat inovatif, kritis dan berkeadaban.

Kalau kita terjemahkan ke konsep hari ini, pemangku kepentingan selaku tim penyeleksi menjalankan aturan-aturan yang ada dan tidak “main mata” kepada pihak yang diseleksi.  Dalam konteks yang lebih sedikit teknis ini artinya bahwa “wasit” dalam seleksi dan perekrutan ini benar-benar memberikan lapangan yang rata supaya permainan berjalan dengan fair dan selalu on the track-nya.

Masing-masing kandidat diizinkan untuk saling tackling dan sleeding. Kalau kembali kepada ilustrasi di atas maka dapat dipahami bahwa Kepala Desa Tayotada mempersilahkan kedua kelompok baik A atau B saling “menjegal” melalui adu gagasan, visi misi, keterampilan, skill, pengalaman, berapa jumlah publikasi ilmiah yang dimiliki, kemampuan leadership, termasuk berapa kali menjadi presenter seminar baik nasional maupun internasional.

Mereka wajib melakukan presentasi di depan para petinggi desa mulai dari kepala desa, sekretaris, sampai kepada unit terkecil seperti kepala seksi (kasi) atau kepala urusan (kaur). Kalaupun tidak bisa melalui presentasi, alternatif lain yang bisa dilakukan adalah melalui portofolio dan tracing rekam jejak.

Sehingga penjegalan tidak haya dengan cara membesarkan otot leher tapi memaksimalkan volume otak. Berubah dari cronyism paradigm  menuju merit-based orientation. Pada muaranya nanti dengan sendirinya akan terpilih pejabat yang bersih dan berintegritas, amanah. Yang mampu bertanggungjawab tidak hanya kepada atasan dan bawahannya saja, tetapi juga kepada atasan dari segala atasan yakni Sang Maha Pencipta.

Pentingnya Meritokrasi Jabatan

Seberapa pentingkah meritokrasi dalam sebagai filter dalam menenempatkan personel pada suatu jabatan? Menurut Bewinda dkk (2023) dalam Musamus Journal of Public Administration ada empat manfaat meritokrasi. Yang pertama adalah prinsip akuntabilitas dan transparansi.

Lahirnya sistem meritokrasi diharapkan akan membawa dampak siginifikan dalam terwujudnya pemerintahan yang transparan sehingga proses seleksi dari awal sampai akhir bisa diaudit dan bisa dipertanggungjawabkan. Tidak ada istilah pemain balik layar yang selalu menjadi pialang jabatan.

Yang kedua adalah mencegah terjadinya praktek nepotisme dan favoritisme yang biasanya hadir melalui jalur konektifitas. Mafhum kita ketahui  bahwa proses seleksi untuk pejabat mulai dari kelas teri sampai kakap kerap melibatkan transaksi gaib bahkan juga sering terjadi konflik kepentingan.

Ada banyak bentuk nepotisme yang muncul mulai dari yang standar seperti kedekatan keluarga atau family, agama, politik, almamater, relasi kesukuan dan kedaerahan sampai konglomerasi.

Dengan dibentuknya sistem meritokrasi ini harapannya adalah proses seleksi tidak lagi berdasarkan hubungan kedekatan akan tetapi lebih kepada mampu dan tidak mampu, punya skill atau nihil skill, berpengalaman atau masih magang, punya integritas atau hanya menonjolkan popularitas. Yang ketiga memberikan kontribusi terhadap efisiensi dan produktifitas SDM pegawai.

Kalau yang lolos seleksi melalui jalur give away  maka kemungkinan besar kualitas yang dihasilkan belum atau tidak sama dengan yang betul-betul lolos murni. Karena “mereka” tidak mempunyai skill atau pengalaman tetapi lebih kepada faktor keberuntungan dan kedekatan saja. Masalah efektifitas dan efisiensi masa bodoh terserah nanti saja, yang penting dapat kursi dan jabatan.

Tentunya masih segar dalam ingatan ketika Bapak Mendagri Tito Karnavian yang mengatakan bahwa “Dikasih kerjaan, jam 08.00 masuk, tidak punya keahlian, jam 10.00 sudah ngopi-ngopi sudah hilang,”. Adanya fakta ini membuktikan bahwa kejadian-kejadian seperti ini masih terjadi dan kemungkinan akan terus berlanjut.

Potret kondisi real di lapangan

Dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN jelas diatur bagaimana tata cara pengelolaan SDM termasuk di dalamnya ketika penempatan personil dalam suatu jabatan tertentu. Peraturan ini kemudian juga diperkuat dengan terbitnya Peraturan Menteri PANRB Nomor 40 Tahun 2018 tentang Pedoman Sistem Merit dalam Manajemen ASN. Regulasi ini menjadi acuan wajib yang semestinya diikuti dan dilaksanakan oleh pemangku kepentingan.

Yang banyak hari ini terjadi adalah oksimoron; ada ketidakbaikan dalam kebaikan. Peraturan tinggalah peraturan yang terpatri dalam halaman demi halaman kertas yang tebalnya bahkan melebihi sepuluh sentimeter. Pasal demi pasal hanyalah susunan kata demi kata yang habis dibaca langsung tidak ingat lagi. Bukan tidak tahu maksud pasal demi pasal yang ada dalam peraturan, tetapi keinginan untuk melaksanakan yang belum ada.

Bahkan sumpah pelantikan kebanyakan hanya sebuah seremoni belaka, takutkah dengan sumpah pelantikan yang diikrarkan? Banyak dalil yang bisa dicari untuk membenarkan bahwa telah bekerja sebagaimana mestinya. Urusan takut dengan tuhan adalah urusan akhirat, begitu bagi sebagian mereka berucap.  Pertanggungjawabannya adalah nanti bukan sekarang.

Setidaknya ada 4 macam kejadian nyata yang sering terjadi dalam hal penempatan personel dalam suatu jabatan menurut Kartono (2001:13) yakni spoil system, nepotism system, patronage system, dan merit system. Potret yang ada di lapangan ketika ada promosi jabatan akan menjadi even untuk balas budi dan invasi kekuasaan.

Balas budi ini sudah menjadi kultur birokrasi baik dalam bentuk grtifikasi jabatan atau posisi tertentu maupun balas budi negatif dalam bentuk “revenge” kepada lawan. Balas budi biasa disebut spoil system ini bisa dilihat dalam hal calon yang diangkat punya kedekatan dengan afiliasi-afiliasi tertentu dan penilaian subjektif atasan.

Kemungkinan-kemungkinan ini yang sering terjadi, maka sebagai bentuk ucapan terima kasih maka rambu-rambu yang ada dalam meritokrasi yang kadang-kadang disulap dan dipoles dengan beberapa aturan tambahan. Semua itu dilakukan supaya lapangan permainan “tidak rata” sehingga ada satu pihak yang diuntungkan dan pihak lain dibuntungkan.

Potret kejadian real berikutnya adalah apa yang disebut dengan patronage system, ini merupakan kombinasi antara spoil dan nepotism system. Penempatan seseorang berdasarkan kedekatan secara nasab dan nasib.

Misal, pihak tertentu akan menempatkan orang-orang pada posisi tertentu berdasarkan kedekatan kekeluargaan, kedaerahan, kesukuan, satu agama atau bahkan juga relasi pertemenanan, kolega. Lagi, profesionalisme tergadaikan diatas konektifitas, bisa juga disebut sebagai jalur cronyism. Orang-orang yang punya kompetensi, sertifikasi, kualifikasi, dan lengkap administrasi dipaksa menepi untuk sementara waktu alias “dibangkucadangkan”. 

Masa pemikiran kita yang hidup era digital ini kalah dengan pendahulu kita yang hidup ribuan tahun sebelum kita dalam hal meritokrasi. Mungkinkah kita kalah “gercep”dari Dinasti Qin dan Han dalam urusan profesionalisme jabatan? Atau kita akan mengadopsi gaya pemilihan pejabat Desa Tayotada seperti ilustrasi diatas? Rasanya sangat (tidak) mungkin!

Penulis: Sahyoni
Dosen STAIN Mandailing Natal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll