Praktik Ekonomi Islam hadir dan berkembang di tengah bangsa Arab bersamaan dengan momentum kelahiran serta penyebaran agama Islam pada abad ke 7 masehi. Allah SWT mengutus Nabi Muhammad saw dalam misi besar ini. Nabi berucap “Sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia”.
Ilmu Ekonomi Islam tidak lain dan tidak bukan adalah diskusi tentang etika dan moral dalam bingkai praktik ekonomi, hal ini sudah diterapkan Nabi beserta para pengikutnya pada masa awal Islam, seperti mekanisme pasar, bisnis, joint venture, kebijakan pajak, perdagangan internasional, Baitul mal sebagai institusi harta yang semuanya merupakan representasi dari kajian ilmu mikro dan makro ekonomi, sudah ditata dan diterapkan dengan sangat baik.
Masyarakat jahiliyah yang semula tertindas dengan praktik pembungaan uang, penipuan, dan ketidakadilan dalam aktivitas ekonomi, kunjung memperoleh pencerahan dan mulai menata kehidupan yang penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Praktik ini pun menjadi fondasi dan melahirkan kajian ilmu ekonomi Islam, para pakar ekonomi Islam fenomenal yang hidup di era keemasan awal Islam, seperti Al-Ghazali, Ibn Khaldun, dan Ibn Taimiyyah, memberikan banyak kontribusi pemikiran ekonomi. Dalam literatur sejarah perkembangan ilmu ekonomi, masa kegemilangan Islam ini terjadi pada abad 8-13 Masehi.
Namun demikian, momentum ini mulai meredup di abad ke 14 hingga memasuki abad ke 20 Masehi. Sebelum kemudian perlahan kembali bangkit diakhir abad ke 20, dengan kemunculan Bank Islam pertama di panggung sejarah ekonomi yang didirikan di Mesir.
Menjelang abad 21 era modern, perlahan tapi pasti, teori dan praktik ekonomi Islam mulai memberikan sinyal kebangkitan yang akan membawa kisah yang besar dalam sejarah perkembangan ekonomi dunia.
Tidak hanya praktik perbakan Islam, isu aktual ekonomi Islam terkait bisnis mulai menggurita di penjuru dunia, tak hanya di negara mayoritas muslim, negara dengan penduduk minoritas muslim pun tercatat pada berbagai media nasional dan internasional telah memberikan kontribusi dalam perkembangan bisnis Halal.
Halal Value Chain merupakan bukti konkrit terkait momentum ini. Bisnis Islam tidak lagi hanya terbatas pada perbankan Islam dan produk makanan halal tapi telah mencakup jasa lainnya seperti pariwisata halal, kosmetik halal, hotel syariah, halal medicine, hingga bisnis busana muslim.
Indonesia merupakan negara mayoritas muslim yang berperan aktif dalam perkembangan Bisnis Islam. Banyak para pebisnis restoran di Indonesia yang mulai concern dengan label halal untuk produk makanan yang dijual.
Tak hanya dari sisi produsen, konsumen muslim di Indonesia pun mulai mempertimbangkan kehahalan produk makanan dan non-makanan yang dikonsumsi seperti pada penggunaan produk kesehatan maupun kosmetik halal.
Beberapa pebisnis dan artis Indonesia pun yang menekuni bidang fashion, sejak awal 2011 hingga saat ini telah memasarkan produk muslim fashion di kancah internasional, seperti yang diadakan di Perancis pada event International Fashion Show, dimana Dian Pelangi merupakan salah seorang pelopor perkembangan bisnis Muslim Fashion di Indonesia.
Di sisi lain, pertumbuhan Halal Value Chain di negara-negara non-muslim tidak kalah fantastis. Jepang, Thailand, dan Taiwan merupakan beberapa negara minoritas muslim yang telah mengembangkan industri halal maupun pariwisata halal.
Lebih lanjut, Korea dengan penduduk muslim yang sedikit menjadi produsen komestik halal terbesar dunia yang juga berkontribusi pada bidang industri dan wisata halal, sedangkan Negara China, yang diberitakan oleh berbagai media internasional, diakui sebagai eksportir pakaian muslim terbesar di dunia.
Perkembangan teori dan praktik ekonomi Islam ini merupakan PR besar bukan hanya bagi para ahli ekonomi Islam, namun juga menjadi perhatian besar bagi pemerintah, pebisnis, hingga masyarakat secara umum. Hal ini tidak terlepas dari aspek ontologi ekonomi Islam itu sendiri, yakni mencapai Falah, kesejahteraan holistic.
Penulis: Telsy Fratama Dewi Samad (Dosen FEBI IAIN Manado)