Semakin mendekati waktu pemilihan, pernak-pernik pemilu seperti alat peraga kampanye dari para calon anggota legislatif (caleg), partai peserta pemilu, hingga bakal calon presiden dan wakil presiden mulai memenuhi ruang publik. Para kandidat telah mengambil ancang-ancang memperkenalkan diri mereka ke hadapan masyarakat, entah melalui poster, baliho, hingga iklan di media massa dan media sosial. Hal ini menjadi lazim yang kerap dijumpai menjelang pemilu berlangsung.
Selain ramai dengan berbagai bentuk kampanye semacam itu, ruang publik juga mulai disesaki percakapan terkait segala sesuatu yang berkaitan dengan pemilu. Di media sosial, tiap hari selalu ada isu yang jadi topik perbincangan berkaitan dengan proses pemilu 2024 nanti. Keadaan tersebut adalah sesuatu yang patut dihargai karena berarti demokrasi telah berjalan. Setiap orang bisa berpendapat terkait aspirasi politiknya. Hanya saja, jika dicermati lebih jauh, pembicaraan mengenai momentum politik 2024 cenderung tidak fokus pada program atau gagasan dari mereka yang turun gelanggang dalam pemilu nantinya. Yang lebih ramai dibicarakan justru malah mengenai intrik politik di antara para elite dalam masa-masa menuju pemilu.
Manuver ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin) yang menyeberang koalisi dari kubu Prabowo Subianto, ke kubu Anies Baswedan menjadi salah satu contoh dari intrik yang dimaksud. Peristiwa tersebut menyedot atensi publik karena mengagetkan dan terjadi secara tiba-tiba. Selama berhari-hari media sosial ramai membicarakan peristiwa tersebut. Tapi dari sekian ramainya pembicaraan mengenai hal itu, tidak banyak yang membicarakan apa program nyata dari Cak Imin apabila benar menjadi wakil presiden. Hal demikian terjadi pula untuk calon presiden dan wakil presiden lain.
Intrik politik dalam periode menuju pemilu adalah sesuatu yang lumrah. Tapi dalam konteks pemilu, sudah seharusnya masa-masa mendekati pemilu juga diisi dengan percakapan mengenai gagasan dan ide untuk Indonesia ke depan. Yang terjadi justru sebaliknya, masyarakat lebih banyak dijejali perilaku elite yang sibuk berdansa ke sana kemari demi mensukseskan kepentingannya. Para elite tidak menyodorkan seperangkat tawaran ide dan program yang kongkrit untuk dibawa bertarung dalam pemilu. Padahal itulah sebenarnya yang diperlukan para pemilih guna meyakinkan dirinya untuk memilih siapa nanti di 2024.
Merujuk pada rilis Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dikeluarkan KPU, pesta demokrasi lima tahunan tersebut akan melibatkan 204.807.222 pemilih dari keseluruhan populasi rakyat Indonesia. Dari total DPT, ada kelompok pemilih muda yang sebagiannya baru pertama kali memilih dalam pemilu.
Berdasar data KPU, dari 204.807.222 DPT yang telah ditetapkan, sebanyak 46.800.161 pemilih atau 22,85% dari total DPT terdiri dari Gen Z (penduduk yang lahir pada kurun 1997-2012). Sedangkan sebanyak 66.822.389 atau 33,60% pemilih terdiri dari generasi milenial (penduduk yang lahir dalam kurun 1981-1996). Jumlah Gen Z dan milenial apabila diakumulasikan berjumlah lebih dari 113 juta pemilih, atau mencapai setengah dari keseluruhan DPT. Jumlahnya yang signifikan membuat dua kelompok umur tersebut dinilai sebagai game changer atau penentu permainan dalam pemilu 2024 besok.
Para pemilih muda ini berbeda karakteristiknya dengan mereka yang telah berpengalaman mengikuti pemilu. Salah satu perbedaan mencoloknya terlihat dari orientasi mereka yang lebih fokus pada isu atau program kerja daripada identitas kultural.
Penelitian yang dilakukan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) berjudul Orientasi Sosial dan Politik Pemilih Muda (Generasi Z dan Milenial) Menjelang Pemilu 2024 (2022), mengatakan bahwa Gen Z dan milenial tertarik pada isu-isu yang berkaitan persoalan kesehatan, krisis lingkungan dan energi, lapangan kerja, kesejahteraan, korupsi, serta demokratisasi. Para pemilih muda ini menyukai pemimpin yang bersih dan berintegritas serta mampu menjawab berbagai persoalan krusial yang menjadi ketertarikan mereka.
Namun sayangnya para politisi cenderung tidak melakukan kampanye yang berangkat dari kenyataan di atas. Padahal hal itu sangat strategis dan signifikan dalam upaya menggaet suara pemilih muda dalam persaingan elektoral.
Pemilih Muda dan Krisis Iklim
Para Gen Z dan milenial, menurut berbagai publikasi di berbagai belahan dunia seperti dari CIRCLE (2022) di Amerika Serikat (AS) atau The Atlantic (2019) di Eropa, dikatakan sangat peduli terhadap isu perubahan iklim. Di Indonesia sendiri, merujuk pada riset terbaru dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) dan Unity of Trend (UniTrend) berjudul Menuju Transisi Energi: Pesan Rakyat Untuk Presiden Masa Depan (2023), disebutkan bahwa Gen Z dan milenial dengan rentang usia 15-34 tahun paling banyak berpersepsi bahwa krisis iklim adalah hal yang nyata dalam kehidupan. Menurut riset tersebut, hanya 5% responden dengan rentang usia 45-54 tahun yang menyatakan krisis iklim tidak nyata.
Dalam riset ini juga disebutkan bahwa krisis iklim bukan hanya menjadi kegelisahan para Gen Z dan milenial. Berdasar survei yang dilakukan, ternyata mayoritas masyarakat Indonesia berpendapat bahwa krisis iklim merupakan hal yang nyata dan tidak cuma terjadi di daerah tertentu saja. Hampir semua responden yang tinggal di pulau Jawa, Sumatera, Papua, Maluku, dan Sulawesi menyatakan bahwa krisis iklim memang nyata adanya. Hanya responden yang tinggal di Bali dan Nusa Tenggara yang sebagian besarnya merasa bahwa krisis iklim bukanlah hal yang nyata.
Selain itu, 60% masyarakat menilai pemerintah belum mampu merumuskan kebijakan yang dapat mencegah krisis iklim di Indonesia. Dari 60% ini, ternyata mayoritas berasal Gen Z sebesar 24% dan milenial 46%. Kondisi tersebut menjadi bukti kalau Gen Z dan milenial memang cenderung kritis dan memiliki kesadaran tinggi terhadap kinerja pemerintah dalam upaya pencegahan krisis iklim.
Berbagai fakta yang ditemukan ini menunjukkan bahwa persoalan krisis iklim bukan hanya menjadi kegelisahan para pemilih muda saja. Tapi juga menjadi kekhawatiran sebagian besar masyarakat Indonesia.
Kenyataan bahwa para Gen Z dan milenial ini peduli terhadap krisis iklim seharusnya direspons para politisi dengan menghadirkan tawaran program dan gagasan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Di mata para pemilih muda, kesejahteraan ekonomi tidak akan berguna apabila tercapai di tengah lingkungan dunia yang tengah mengalami krisis. Untuk itu mereka butuh langkah strategis yang jelas dalam menyikapi hal itu. Bukan langkah-langkah reaksioner yang terkesan romantis dan penuh bualan. Namun pada praktiknya, para politisi tidak banyak yang bicara menawarkan hal itu. Padahal, pemilih muda ini butuh informasi kongkrit dari para kandidat yang akan bertarung.
Keluar dari jebakan politik identitas
Temuan dalam riset CELIOS & UniTrend (2023) seharusnya digunakan para politisi dalam menyusun program kerja sekaligus strategi kampanye demi menggaet suara dalam pemilu 2024. Jika saja partai politik dan kandidat membaca tren di kalangan pemilih muda yang kini sangat peduli terhadap krisis iklim, maka strategi kampanye yang dipakai akan menyesuaikan dengan isu yang menjadi fokus para Gen Z dan milenial. Bukan justru malah strategi konvensional seperti memasang baliho di pinggir jalan dan sejenisnya tanpa ada informasi jelas mengenai program yang bakal diperjuangkan. Yang perlu dilakukan adalah berkampanye dengan sedapat mungkin mampu memberi informasi yang tegas, lugas, dan kongkrit terkait program kerja apa yang akan dilaksanakan sesuai dengan situasi hari ini.
Bila itu yang terjadi, maka pemilu 2024 nanti akan bisa keluar dari skema politik identitas yang dalam dua pemilu terakhir menjadi roda penggerak utamanya. Kandidat yang bertarung tidak lagi semata mengandalkan “baju” atau identitas kultural yang melekat di masyarakat, tapi mengandalkan kecakapan menyusun program atau gagasan dalam menjawab permasalahan mendesak yang sedang berlangsung saat ini. Polarisasi yang dalam dua perhelatan pemilu menjadi wajah politik Indonesia pada ujungnya pun akan terurai dengan sendirinya. Pertengkaran dalam ruang publik tidak lagi disebabkan oleh agama, ras, suku, dan berbagai identitas lain. Tapi berdasar perbedaan gagasan atau program yang diperjuangkan.
Politik hijau sebagai agenda publik
Absennya perspektif lingkungan dalam politik elektoral di Indonesia disebabkan karena partai politik tidak menjadikan agenda lingkungan/politik hijau sebagai platform perjuangannya secara serius. Dikatakan tidak serius karena pada dasarnya sebagian besar partai politik Indonesia sebenarnya sudah menyatakan komitmen untuk mengatasi krisis iklim. Hal itu tertuang dalam manifesto dan dokumen organisasi dari para partai di Indonesia. Namun persoalannya, menurut Khalisah Khalid dalam opini di Kompas berjudul Politik Hijau dalam Pusaran Pemilu 2024 (2023), dokumen organisasi tersebut ternyata tidak menjadi rujukan oleh kader-kadernya, baik yang ada di parlemen, maupun yang ada di pemerintahan. Mereka tetap saja menerbitkan kebijakan atau undang-undang yang tidak mendukung isu krisis iklim. Komitmen tertulis tersebut pada akhirnya hanya menjadi ”pemanis” dan pelengkap administratif.
Dari situ kemudian tidak heran jika kampanye yang dilakukan partai beserta kandidat yang diusungnya cenderung abai terhadap isu krisis iklim. Karena pada praktiknya mereka sendiri memang tidak terlalu concern terhadap isu tersebut. Survei nasional yang dilakukan Indikator Politik Indonesia (IPI) berjudul Persepsi Pemilih Pemula dan Muda (Gen-Z Dan Milenial) atas Permasalahan Krisis Iklim di Indonesia pada 2021 lalu membuktikan hal itu. Dalam survei dikatakan kalau partai politik dianggap belum memberi perhatian dan belum menjadikan krisis iklim sebagai prioritas dalam agenda politik.
Oleh karena itu ke depan perspektif politik hijau ini perlu didorong untuk menjadi salah satu platform politik partai-partai di Indonesia. Pasalnya, krisis lingkungan ini memang nyata adanya dan benar-benar dirasakan semua kalangan. Polusi udara Jakarta beberapa waktu lalu, konflik agraria di berbagai daerah antara pemerintah dengan rakyat, hingga pemanasan global yang semakin hari semakin terasa adalah sebagian bukti bagaimana dunia yang kita tempati sedang mengalami krisis. Dengan mendorong politik hijau dalam diskursus politik Indonesia, hal itu akan membawa krisis lingkungan yang sedang umat manusia alami sekarang menjadi pembicaraan publik secara luas.
Krisis lingkungan hidup nantinya akan menjadi isu yang setara dengan kemiskinan, demokrasi, atau keadilan. Bukan sekedar isu pelengkap atau tambahan dari isu lain. Apabila ini terwujud, permasalahan lingkungan yang belakangan terjadi bakal bisa dimitigasi secara struktural dengan lebih komprehensif.
Penulis : Willy Vebriandy