Terkadang masyarakat awam sering menanyakan kenapa menyentuh pasangan tanpa pembatas itu membatalkan wudhu. Dalam kaidah islam, terdapat 4 Mazhab yang dapat menjelaskan perkara tersebut. Wahbah az-Zuhaili dalam bukunya yang berjudul Fiqh Islam wa Adillatuhu memaparkan pandangan imam Hanafi, imam Maliki, imam Syafi’i dan imam Hambali.
Mazhab Hanafi berpendapat wudhu seseorang akan batal jika bersentuhan dengan perempuan sewaktu jimak/berhubungan suami istri. Sementara ulama mazhab Maliki dan Hambali berpendapat bahwasannya wudhu akan batal karena bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan dan timbul rasa nikmat atau timbul gairah nafsu.
Menurut ulama mazhab Syafi’i, wudhu kedua belah pihak laki- laki dan perempuan akan batal dengan hanya sentuhan kulit, meskipun tidak timbul gairah nafsu. Agar mempermudah memahami mengenai bersentuhan antara lawan jenis ketika memiliki wudhu dengan pendapat empat mazhab di atas, dapat dilihat tabel perbedaan berikut:
Jadi, tergantung mazhab mana yang kita ikuti mengenai batalnya wudhu. Keseringan umat muslim hanya katanya namun tidak mencari kebenarannya dengan sumber yang kuat. Belajar ilmu Fiqih haruslah ada gurunya agar tidak tersesat dalam mempelajari suatu ilmu. Kita bisa ikut mazhab manapun namun didasari dengan argumen dan pendapat mazhab yang kuat dan konsisten.
Pada pembahasan kitab Imam Syafi’I merincikan penjelasannya hingga detail seperti bahwa menyentuh (lamsu) atau massu perempuan ajnabiyah (bukan mahrom) dapat membatalkan wudhu secara mutlak meski tanpa bersyahwat. Dan meskipun yang laki2 sudah tua sekali sampai pikun, dan yang perempuanya sudah tua renta yang tidak dapat menimbulkan nafsu. Hal ini merupakan ketentuan didalam mazhab Syafi’iyah bahwa baik itu yang menyentuh merupakan laki – laki yang sudah tua atau masih muda.
Menurut Imam Syafi’I perempuan selama masih hidup maka dia masih bisa memberi rangsangan kenikmatan kepada orang, dan sesungguhnya yang membatalkan wudhu itu adalah bersentuhan dengan tanpa pengahalang seperti adanya kain tipis antara kulit wanita dan laki-laki maka yang demikian tidak membatalkan wudhu.
Dapat disimpulkan bahwa menurut Imam Syafi’I menyentuh pasangan (suami/istri) itu dapat membatalkan wudhu jika tanpa adanya penghalang antara kedua kulit pasangan baik itu bersyahwat maupun tidak. Hal ini merupakan bentuk kehati-hatian dalam menghukumi suatu hal apalagi pada zaman yang sekarang semuanya dianggap mudah tanpa dasar atau sumber hukum yang jelas. Para ulama sebelum beliau meninggalkan dunia ini sudah seperti mendapat gambaran zaman atau masa yang akan datang maka dari itu dalam berpendapat mengenai hukum Fiqih memikirkan kehati- hatian.
Wallahu alam bishawab
Penulis: Anis Fitrohatin (Humas IAIN Manado)