Kita membuka buku berjudul Rumi’s Daily Secrets: Renungan Harian untuk Mencapai Kebahagiaan (2008). Buku itu berisi kumpulan hikmah dari Jalaluddin Rumi berdasarkan terjemahan HB Jassin. Di sampul buku, nama penerjemah itu dicantumkan di bagian atas. Kita masih membaca dua nama. Goenawan Mohammad sebagai penulis pengantar. Ali Audah (1924-2017) sebagai editor.
Pada suatu hari, Ali Audah mendapat naskah terjemahan HB Jassin, terjemahan dari edisi bahasa Inggris. Naskah itu diperiksa dengan penemuan kesalahan-kesalahan. Ali Audah mengenang keputusan mau menjadi editor: “Mulanya saya ragu. Saya sudah membaca beberapa hasil terjemahan sahabat saya yang baik itu – juga semua orang yang pernah membacanya – sangat menarik, lancar, enak dibaca dan jelas, dalam bahasa Indonesia yang terpelihara. Ia sangat berhati-hati dalam menerjemahkan.” HB Jassin tetap melakukan kesalahan-kesalahan, memerlukan editor dalam perbaikan. Ali Audah tampil sebagai pihak bekerja keras agar terjemahan itu bermutu.
Sejak dulu, Ali Audah biasa menjadi editor. Publik mungkin condong mengenali ia sebagai pengarang cerita pendek dan novel. Sosok itu tercatat sebagai pengarang terhormat dalam sastra Indonesia. Di Buku Pintar Sastra Indonesia (2001) susunan Pamusuk Eneste, kita membaca keterangan bahwa Ali Audah itu pengarang dan pengajar. Sekian buku sudah diterbitkan: Malam Bimbang (1961), Jalan Terbuka (1971), dan Icih (1972).
Ia pun rajin menerjemahkan buku-buku. Pada suatu masa, ia menjadi Ketua Himpunan Penerjemah Indonesia (1974-1984). Kita ingin mengenang Ali Audah sebagai penerjemah selain pengarang, pengajar, dan editor. Hasil-hasil terjemahan: Suasana Bergema, Peluru dan Asap, Kisah-Kisah Mesir, Setan dalam Bahaya, Di Bawah Jembatan Gantung, dan lain-lain. Ia menerjemahkan teks-teks sastra dalam bahasa Indonesia, terbit dan menghampiri pembaca agar akrab dengan sastra tak melulu dari Eropa dan Amerika Serikat. Ia memiliki penguasaan bahasa Arab.
Ali Audah ikut berdakwah dengan peran sebagai penerjemah. Di jalan keagamaan, ia menjadi pendakwah bukan di mimbar-mimbar. Ia sodorkan sekian terjemahan agar umat Islam di Indonesia mendapat bacaan penting dan bermutu. Dulu, ia bersama Goenawan Mohamad dan Taufiq Ismail menerjemahkan buku Muhammad Iqbal, terbit dengan judul Pembinaan Kembali Pemikiran Agama Islam (1966). Kerja penerjemahan itu terus berlanjut dengan pilihan buku-buku babon.
Buku terlaris diterjemahkan Ali Audah dan terus cetak ulang sampai sekarang: Sejarah Hidup Muhammad (1972). Buku susunan Muhammad Husain Haekal itu dianggap sumber berharga bagi umat Islam untuk mengenali Nabi Muhammad. Ali Audah berhasil menerjemahkan dengan terang, apik, dan bermutu. Ia menerjemahkan dari edisi bahasa Arab.
Ali Audah (1978) menerangkan: “… cetakan pertama habis dari persediaan dalam waktu pendek. Penerjemah pun sadar bahwa datangnya sambutan demikian tentu karena buku Haekal berjudul Hayat Muhammad dalam bahasa Arab sudah sangat terkenal, dan selama hampir setengah abad sejak cetakan pertama terbit, terus-menerus mengalami cetak ulang dalam jumlah besar, dan hingga sekarang tetap menjadi sumber dan bacaan utama tentang sejarah hidup Nabi Muhammad. Kiranya pertimbangan penerjemah tidak salah bila yang dipilih buku ini untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia di antara sekian banyak buku sejarah hidup Nabi Muhammad yang pernah ditulis orang.” Keberhasilan itu bersambung dengan penerjemahan buku mengenai para khalifah.
Di Indonesia, Ali Audah menempuh jalan dakwah dengan menjadi penerjemah. Peran itu penting dan berpengaruh untuk ketersediaan buku-buku bermutu. Industri buku Indonesia menempatkan buku-buku agama dalam urutan teratas meski bisa mengalahkan buku-buku pelajaran. Para penerjemah menentukan lakon keaksaraan bagi umat Islam saat ingin membaca beragam buku dalam bahasa Indonesia. Buku-buku penting bertema Islam dalam bahasa Arab, Inggris, Perancis, Belanda, dan lain-lain perlu disuguhkan ke pembaca. Ali Audah dianggap penerjemah unggul.
Di majalah Tempo, 31 Agustus 2014, kita melihat Ali Audah berumur tua tampak kerepotan mengurusi ribuan buku. Sejak kecil, Ali Audah bergaul dengan buku-buku. Pada masa dewasa, ia menjadi penulis dan penerjemah. Penguasaan bahasa-bahasa menjadi mutlak diperlukan dalam berperan sebagai penerjemah.
Kita simak pengakuan belajar bahasa Indonesia: “Saya mulai menikmati bahasa Indonesia yang indah melalui buku-buku cerita yang dipinjamkan kawan. Mulailah saya memperhatikan bahasa secara sungguh-sungguh. Buku apa saja saya baca, asalkan indah bahasanya. Kebanyakan merupakan terbitan Balai Pustaka. Betapa saya mengagumi pengarang seperti Nur Sutan Iskandar, Abdul Muis, Marah Rusli, Sutan Takdir Alisjahbana.” Ia pun membaca sastra dari pelbagai negara berbarengan kemauan kuat mengerti bahasa-bahasa.
Kita jarang menempatkan penerjemah sebagai pendakwah di Indonesia. Sekian tokoh besar di Indonesia pernah menjadi penerjemah buku-buku keagamaan meski tak setenar peran-peran lain. Ali Audah, nama wajib dicatat dalam lakon dakwah di Indonesia di jalan perbukuan. Ia bukan sosok lulusan perguruan tinggi. Ia cuma mendapat pendidikan dasar tapi mengimbuhi pengetahuan-pengetahuan dengan gairah membaca buku-buku dilengkapi pergaulan di kalangan intelektual, ulama, dan pengarang.
Persembahan besar dari Ali Audah: menerjemahkan The Holy Quran, Text, Translation and Commentary. Di negara-negara berbahasa Inggris, terjemahan Al Quran berbahasa Inggris dan tafsir dikerjakan Abdullah Yusuf Ali itu memukau. Konon, terjemahan bermutu sastra terbaik dalam bahasa Inggris. Di Indonesia, para cendekiawan membaca dalam bahasa Inggris.
Ali Audah tampil sebagai penerjemah dalam bahasa Indonesia, terbit dengan judul Quran: Terjemahan dan Tafsirnya (1993). Ali Audah menerangkan tentang mutu tafsir oleh Yusuf Ali: “Cara penafsirannya tidak bersifat apologi, tidak dipaksa-paksakan untuk disesuaikan dengan gagasan tertentu, sehingga tafsir ini dikatakan dapat diterima oleh semua pihak. Gayanya tenang, tinjauannya menukik dalam dan ia berusaha tidak membuat kritik terhadap mufasir mana pun, tetapi pendiriannya sendiri bila perlu diperlihatkan… Mengingat semua itu dan untuk menambah khazanah tafsir Al Quran dalam bahasa Indonesia, akan baik sekali jika tafsir ini diterjemahkan. Dan ini pula yang sudah lama terpikir, saya ingin menerjemahkannya dalam bahasa Indonesia, dan memang sudah sepatutnya demikian.”
Ketekunan dalam menerjemahkan memastikan Ali Audah itu pendakwah dalam arus perbukuan agama di Indonesia. Ia mengerti hasrat pengetahuan umat Islam di Indonesia. Mereka menginginkan buku-buku bermutu. Penerjemahan menjadi siasat menghubungkan para pembaca di Indonesia dalam pergaulan pengetahuan di dunia dan mengalami laku keaksaraan dalam beragama. Begitu.
Penulis: Bandung Mawardi