Perkembangan teknologi dan arus informasi yang begitu pesat mengubah tatanan dunia yang lebih modern dan terbuka. Pola mendidik anak pun perlahan tapi pasti mengalami pergeseran. Orang tua sedikit banyak mempercayakan kebutuhan belajar anaknya kepada alat genggam ‘smartphone’. Namun, disisi lain, hubungan anak-orang tua semakin merenggang hingga menyebabkan pendidikan informal anak tidak terpenuhi.
Generasi masa kini rentan terhadap propaganda budaya asing yang bersebrangan dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Menghadapi tekanan untuk selalu terhubung dengan perkembangan terkini, generasi muda seringkali dianggap lemah, cengeng, dan manja.
Pertanyaannya adalah, mengapa hal ini terjadi? Salah satu penyebabnya adalah kekurangan arahan moral yang kuat. Banyak di antara mereka yang kurang memahami akhlaq yang benar, yang kemudian tercermin dalam perilaku tidak sopan terhadap para pendidik mereka.
Seharusnya, pendidikan karakter dan moral adalah fondasi utama yang ditanamkan oleh orang tua sejak dini. Namun, ironisnya, teknologi informasi justru menyita Sebagian besar dari waktu yang dimiliki oleh orang tua untuk mendidik anak. Tidak sedikit orang tua yang melupakan tugas utamanya untuk mendampingi aktivitas anak dalam berkembang, serta memantau pertumbuhan fisik dan psikologisnya.
Hal ini cukup penting mengingat “Orang tua adalah madrasah pertama bagi seorang anak”. Fenomena tersebut mengingatkan kita dengan sebuah hadits dari yang diceritakan Abu Hurairah RA.
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ
Artinya: “Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah (suci). Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani.” (HR Bukhari dan Muslim).
Hadis di atas menegaskan bahwa pengaruh orang tua sangatlah kuat dalam mendidik seorang anak. Apa yang diucapkan dan dilakukan orang tua pasti akan ditiru oleh seorang anak baik itu hal baik maupun buru.
Salah satu kecenderungan pada masa kini adalah memberikan gadget kepada anak-anak untuk menjaga mereka sibuk. Namun, kita harus memahami bahwa memberikan akses teknologi pada usia yang terlalu dini dapat merusak pikiran dan kesehatan mental anak. Seiring dengan manfaatnya, gadget juga membawa risiko bagi perkembangan anak.
Sebagai masyarakat, penting bagi kita untuk bersama-sama memikirkan solusi. Orang tua perlu lebih sadar akan peran mereka dalam membentuk karakter anak-anak. Pendidikan yang seimbang antara teknologi dan moralitas harus menjadi fokus.
Dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa generasi masa depan akan tumbuh menjadi individu yang kuat, bijaksana, dan bermoral, siap menghadapi dunia yang terus berkembang pesat.
Editor: RI