Burung Gereja dan Nasihat Sang Kiai

burung gereja

Burung Gereja, begitu orang menyebutnya. Tubuhnya mungil kecoklat-coklatan
suaranya riuh tak bertoleran, hidupnya berkelompok ala barbarian. Tapi untung bisa hidup berdampingan dengan ciptaan Tuhan (manusia).

Lantaran gemas dan tak sabar ingin melihatnya terbang, ku dekap dia dalam ketidakberdayaan, meski ku tak cukup tahu bagaimana cara memegangnya. Spontan teringat pesan yang disampaikan oleh seorang Kiai dalam sebuah jamuan buka puasa bersama para santrinya.

Dialog singkat berlangsung di atas meja berukuran persegi di mana salah seorang santri duduk bersebrangan dengan sang Kiai. Sembari menikmati menu berbuka,

Kiai dawuh Kang, ngopeni cah wedok iku filosofine dijikuk tekok carane wong nyekel manuk (kang merawat perempuan itu filosofinya diambil dari cara memegang burung).

Santri : dospundi niku Yai? (Maksudnya gimana, Yai?)

Kiai : Lek kok genggem rapet manuk, e iso mati, lek kok kendoni manuk, i iso ucul (kalau digenggam rapat burungnya bisa mati, klo dikendorkan burungnya bisa lepas).

Santri : La kados, e pripun Yai? (Trus gimana Yai?)

Kiai : Yo cukup dianggang – anggang ae, ojo rapet – rapet yo ojo kendo – kendo, engko lak tentrem rumah tanggamu. jajal, en lek gak percoyo, imbuhnya sambil tertawa 😄 (ya cukup direnggangkan aja, jangan rapat – rapat, nanti rumah tanggamu jadi tentram, coba klo ngak percaya).

Santri : Ngoten ngih Yai (gitu Yai), afirmasi yg masih dihantui rasa binggung.

Mungkin maksud sang Kiai bahwa sikap yang baik dalam mencintai seorang perempuan itu bisa diambil dari filosofi orang memegang burung, tidak boleh terlalu rapat juga tidak boleh terlalu longgar, yang sedang -sedang atau dalam istilah Kiai “dianggang – anggang“.

Sehingga perempuan merasa tidak terkekang oleh kehendak laki – laki. Begitu kira – kira maksud pak Kiai. In the end, aku bisa memegang burung itu seperti yang dianjurkan oleh sang Kiai. Namun tidak dengan makna filosofi yang terkandung di dalamnya.

Aku sama binggungnya dengan santri itu, terutama dalam potongan kata – kata terakhirnya “engko lak tentrem rumah tanggamu. jajal, en lek gak percoyo”.

Dalam benak terbesit tanya apa pak Kiai ngak tahu ya, kalau aku ini masih bujang dan Si santri belum nikah? bilangnya kok gitu sih.
Yo wes lah.. penak piker keri. 🤣. .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll