Rumah Joglo adalah rumah adat suku jawa yang berbentuk limas dengan atap yang tinggi dan besar menyerupai sebuah gunung. Kata Joglo sendiri merupakan singkatan dari “Tajug Loro” yang artinya penggabungan dua tajug/atap. Joglo disangga oleh empat pilar yang disebut saka guru/tiang, di mana setiap saka guru dilapisi oleh umpak (batu trapesium) untuk mengantisipasi terjadinya inflitrasi air tanah.
Rumah adat ini memiliki tiga bagian utama yaitu pendapa (bagian depan), pringgitan (bagian tengah), dan dalem (ruang utama). Pendapa difungsikan untuk menyambut para tamu dan mengelar pertemuan penting seperti sarasehan. Pringgitan digunakan untuk menggelar ritual keagamaan dan pesta rakyat seperti berkatan dan ruwetan. Sedangkan dalem adalah zona esklusif, di mana terdapat tiga senthong/bilik kamar.
Kamar pertama diperuntukan bagi keluarga laki-laki, kamar kedua dikosongkan, sedangkan kamar tiga milik keluarga perempuan. Di masa silam, Rumah Joglo menjadi simbol status dan strata sosial masyarakat sehingga umumnya hanya dimiliki oleh segelitir orang baik dari kalangan bangsawan atau priyai.
Eh iya, di belakang itu ada rumah joglo peninggalan kakek buyut kami loh. Rumah itu sudah dihuni oleh tiga generasi sehingga beberapa material yang terbuat dari kayu sudah diganti dengan bahan material modern sepeti batu dan pasir, meski demikian konstruksi rumah joglo masih tetap dipertahankan.
Mbah Kamadi (buyut) atau dikenal “mbah bayan” adalah seorang kepala dusun di desa kami, Banyuarang. Menurut ceritanya, beliau dikenal sebagai sosok yang tajir melintir, memiliki hak atas 1/3 tanah dusun sebagai seorang abdi desa, petani dan pengusaha. Untuk meneruskan trahnya, si Mbah menikah sampai tiga kali, tetapi hanya dikaruniai seorang anak putri dari istri kedua, dan dia adalah nenek kami “Mak Dewi” (1925 – 2004 M).
Sebagai anak tunggal, Dewi kecil hidup penuh kasih sayang dan perhatian di tengah kemapanan sosial ekonomi keluarga. Menginjak usia dewasa, menikah dengan seorang pemuda dari kalangan santri, “Pak Rozi” (1920 – 2006 M). Rozi muda merupakan barisan kelompok ansor Desa Ngenjong Kidul di bawah panji Nahdatul Ulama, yang pada masanya juga ikut berjuang melawan sekutu dalam peristiwa “The Battle of Surabaya” 10 November 1945.
Dua insan hidup rukun dan sederhana di rumah joglo sebagai seorang petani padi, hingga dikarunia 13 orang anak, delapan orang anak laki – laki dan sisanya anak perempuan. Setiap anak dibesarkan dengan jalan hidup masing – masing, ada yang menjadi guru, petani, pedagang, teknisi dst. Dan sebagian besar dari mereka hidup satu rumpun, bertetangga rumah. Sampai hari ini, keduanya telah menghasilkan lima anak turunan.
Tidak banyak yang aku tahu tentang nenek moyangku, setidaknya dari rumah joglo itu, aku mendengar sedikit cerita tentang mereka.