Ibrahim bin Adham bertemu dengan Syaqiq al-Balkhi di Makkah

Penulis : M. Tahir Alibe

Ada urusan apa engkau datang kepadaku? Kata Ibrahim.

Syaqiq bercerita, “Di Padang Pasir yang luas, aku melihat burung yang patah kedua sayapnya. Aku bertanya-tanya, bagaimana caranya burung ini masih bisa hidup? Bukankah kedua sayapnya telah patah? Maka aku duduk didekatnya dan tidak lama kemudian, datang seekor burung lain dengan belalang di paruhnya dan meletakkan belalang itu di paruh burung yang patah sayapnya. Maka terbesit dalam hatiku,

“Sesungguhnya Tuhan yang telah mendatangkan burung itu, sehingga burung yang patah sayapnya dapat makan dan masih hidup hingga sekarang. Dialah Dzat yang mahakuasa yang kekuasaannya tak terbatas untuk memberikan reski kepadaku di manapun aku berada. “Oleh karena itu, aku tinggalkan mencari reski dan menyibukkan diri untuk semata-mata beribadah saja. Jawab Syaqiq.

Ibrahim berkata, “engkau keliru, kenapa tidak memilih menjadi burung yang sehat, kuat dan memberi makan kepada burung yang sakit, yang patah sayapnya?”

Syaqiq lalu memegang tangan Ibrahim dan berkata, “sudilah kiranya engkau menjadi guru kami”.

Dalam dunia Sufi manusia kadang keliru menjalani dunia sufi dengan hanya pasrah pada takdir Tuhan. Sehingga ia tinggalkan dunianya untuk fokus pada akhiratnya, namun kenyataan ia memang meninggalkan dunianya tetapi hidupnya seperti burung yang patah kedua sayapnya. Makan, minumnya ditanggung oleh burung yang sehat. Ia meninggalkan dunia sambil tergantung kepada dunia pada orang lain. Kepada kelompok sufi tersebut tidak salah kalau diartikan bahwa dunia identik dengan hidup miskin, melarat.

Dunia sufi yang lain memilih menjadi burung yang sehat sehingga ia tidak tergantung pada burung lain. Ia lebih banyak memberi makan, berbuat baik karena ia mencari dunia untuk bekal perjalanan di akhirat nanti. Dunia adalah sarana untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Untuk kelompok sufi yang kedua, Sufi tidak identik dengan hidup miskin tetapi hidup sederhana. Memiliki banyak harta tetapi untuk dibagi-bagi kepada sesama manusia.

Ibrahim bin Adham adalah burung yang sehat, sehingga tidak tergantung pada burung yang lain, sementara Syaqiq adalah burung yang sakit, patah sayapnya sehingga untuk hidup berharap pada bantuan burung yang lain. Kelihatan meninggalkan dunia tapi sangat tergantung pada dunia.

Kepada Imam Ja’far dikisahkan bahwa ada seorang yang ahli ibadah, alangkah agungnya orang itu. Setiap menit dia hanya sibuk beribadah dan zikir kepada Allah swt semata.

“Siapa yang menggurus barang bawaan dan binatangnya? Tanya Imam Ja’far.

Kamilah yang mengurusnya, dia hanya sibuk beribadah dan zikir dan tidak peduli dengan yang lain.

Kata Imam Ja’far, “kalau begitu ceritanya, kalian lebih agung dari dia, kalian lebih mulia dari dia.”

Kisah di atas hanya ingin menjelaskan Hadis Nabi saw yang mengatakan bahwa: Tangan di atas lebih utama daripada tangan yang di bawah.

Jika kita menjalani hidup sufi seperti burung yang sakit, kedua sayapnya patah, lalu siapa yang akan membayar zakat, melakukan ibadah haji, membantu orang-orang lemah, mendirikan lembaga pendidikan, melakukan riset-riset ilmiah dan lain sebagainya? Bukankah hidup miskin sama halnya menggantungkan hidup kita pada orang lain?

Seorang Sufi sejati, bukan tidak memiliki dunia, tapi dunia tidak memilikinya, bukan tidak mempunyai apa-apa tapi tidak dipunyai apa-apa. Hidup mandiri lebih terhormat daripada hidup miskin. Orang sufi meletakkan dunia pada tangannya bukan pada hatinya.

Pilihan kembali kepada Anda, ingin menjadi burung yang sehat atau ingin menjadi burung yang sakit. Wallahu a’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll