Penulis : M. Tahir Alibe
al-Baqir adalah Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali as. Baqir artinya membelah atau membuka. Ia dipanggil dengan sebutan Baqir al-ulum (pembuka ilmu-ilmu pengetahuan).
Seorang Nasrani pernah menguji kesabarannya dengan mengejeknya sedemikian rupa. Ia mengganti Baqir dengan Baqar (Sapi) انت بقر (engkau sapi). Kemudian Imam menjawab, saya bukan Baqar (Sapi) tapi saya Baqir.
“Ibu anda adalah seorang wanita yang pekerjaannya adalah memasak” kata orang Nasrani.
“Ya betul, tapi pekerjaan itu bukan pekerjaan yang memalukan” kata Imam Al-Baqir.
“Ibumu warna kulitnya hitam, tidak punya rasa malu dan tukang fitnah”.
“Kalau itu benar, semoga Allah mengampuni dosa-dosa Ibuku, kalau tidak benar, semoga Allah mengampuni dosa-dosa fitnah dan kebohonganmu itu. Kata al-Baqir
Orang Nasrani itu menyaksikan secara langsung betapa sabarnya Imam al-Baqir. Ibunya difitnah, direndahkan dihadapanya tetap Dia tetap sabar dan tidak menunjukkan rasa marah sedikitpun.
Akhirnya, orang Nasrani itu tergugah hatinya, kagum dengan kesabaran al-Baqir sehingga ia menyatakan masuk Islam setelah kejadian tersebut.
Banyak kisah seperti di atas yang tercatat dalam lembaran sejarah emas dalam Islam. Seorang Nasrani atau Yahudi masuk Islam bukan karena setiap hari dinasehati oleh umat Islam, tetapi mereka masuk Islam karena menyaksikan kesabaran, akhlak mulia dari para ulama.
Oleh karena itu, cara paling baik untuk menarik orang masuk Islam bukan dengan memaksakan ajaran Islam kepada orang lain, menampilkan simbol-simbol keislaman, melainkan dengan menampilkan akhlak mulia kepada setiap orang terutama kepada non-muslim.
Dalam riwayat disebutkan bahwa telah lewat jenazah Yahudi dihadapan Nabi saw, lalu Nabi saw berdiri sebagai bentuk penghormatan. Lalu sahabat berkata kepada Nabi saw, itu Jenazah orang Yahudi ya Rasulullah, lalu Nabi saw berkata, bukankah Dia Manusia juga?
Bukankah Dia Manusia juga? Artinya penghormatan Nabi saw didasarkan atas dasar kemanusiaannya.
Dalam konteks hubungan dengan non-muslim ada satu prinsip yang perlu dijadikan pegangan, “jika kita tidak bersaudara dalam keyakinan maka kita bersaudara dalam kemanusiaan”.