Penulis: RI

Politik atas nama agama atau politik identitas telah berimplikasi negatif terhadap tatanan kehidupan sosial keagamaan pada masyarakat plural dan majemuk. Politik identitas yang ‘kelewatan’ melahirkan polarisasi, di mana heterogenitas masyarakat terabaikan, Hoax dan Hate Speech di media sosial semakin marak, sentimen agama bermunculan baik itu antar sesama penganut agama ataupun penganut agama lain, dan rawan ditunggangi oleh kepentingan politik internasional. Islam merupakan agama yang paling banyak dianut oleh penduduk di Indonesia, sekitar 86,7% dari total populasi (RISSC, 2022). Islam dikenal dengan trilogi Ilahiyyah yakni iman (akidah), islam (syariah) dan ihsan (akhlak) . Wajah islam Indonesia digambarkan sesuai dengan watak dan kepribadian bangsa Indonesia pada umumnya, yakni lemah lembut, damai, toleran, dan nirkekerasan. Islam di Indonesia juga diistilahkan dengan islam kultural, atau islam pribumi. Dewasa ini, corak pemikiran islam Indonesia diwarnai oleh paham transnasional yang esklusif, tekstual, provokatif, dan cenderung radikal, serta paham islam sekuler yang prakmatis, sosialis, kontekstual dan cenderung liberal.
Moderasi beragama merupakan intisari dari ajaran setiap agama yang mengandung nilai – nilai seperti keadilan, kejujuran, toleransi, perdamaian, dan kerukunan. Dalam ajaran islam, moderasi beragama dikenal dengan konsep islam Wasathiyah yang memiliki persamaan makna dengan Tawassuth (tengah-tengah), I’tidal (adil), dan Tawazun (berimbang) . Islam Wasathiyah merupakan sikap dan cara pandang mengambil jalan tengah “the middle path” yang tidak terjebak dalam dua kutub ekstremitas (al-qhuluww wa al-taqshir). Paradigma tersebut meliputi pemahaman, pendekatan dan praktik pada aspek duniawi dan ukhrawi yang mengedepankan prinsip Tasamuh (toleransi), Syura (musyawarah), Ishlah (kreatif), Qudwah (taladan), Muwathanah (menghargai negara-bangsa), Al-la ‘unf (anti kekerasan), dan I’tiraf al-‘urf (Ramah terhadap budaya lokal).
Lembaga pendidikan, khususnya islam, tentunya dapat menjadi basis laboratorium dalam pengarustuamaan dan penguatan moderasi baragama melalui pengajaran. Sebab pendidikan islam sendiri bertujuan untuk menghasilkan pribadi paripurna yang beriman, bertaqwa, berahlak mulia, berprikemanusiaan, cinta perdamaian dan toleran . Selain dari itu, pendidikan islam juga bertujuan untuk menyelaraskan ajaran islam dengan perkembangan ilmu pengetahaun dan teknologi modern untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat . Lembaga pendidikan islam, yang juga menjadi pintu masuk aliran kiri dan kanan, punya peran penting untuk menghadirkan narasi – narasi penyeimbang yang dapat mengantisipasi laju pemikiran kiri-kanan di ruang – ruang ilmiah. Lembaga pendidikan perlu menaruh perhatian pada realitas sosial keagamaan yang terjadi dengan melihat korelasinya pada pengetahuan akademis yang sudah atau akan diajarkan agar peserta didik memiliki kepekaan sosio-religius dalam bergaul di masyarakat majemuk . Lembaga pendidikan islam perlu memberikan jaminan terhadap pelaksanaan pembelajaran yang terbebas dari paham eksrimisme dengan mengambil langkah preventif dan langkah represif yang sesuai dengan peraturan perundangan – undangan.
Fenomenan kecenderungan guru – guru PAI berpandangan esklusif dan intoleran diungkap dalam hasil penelitian PPIM tahun 2016 . 81% guru PAI tidak setuju atas pendirian rumah ibadah agama lainnya di daerahnya. 74% menolak mengucapkan selamat hari raya pada penganut agama lain. Di sisi lain, 80% tidak berkenan jika diminta untuk menolong penganut aliran Syiah dan Ahmadiyah yang diusir dari kampung asalnya agar mendapakan tempat tinggal untuk bermukim. Temuan lain dilaporkan oleh Convey Report di tahun 2018 terkait sikap dan prilaku moderat guru dan dosen PAI . Sekitar 52% guru dan dosen memiliki sikap moderat. 45% guru dan dosen memiliki toleran eksternal dan 54% toleran internal. Angka – angka di atas menunjukkan betapa lemahnya sikap moderasi beragama aktor – aktor pendidikan di Indonesia. Tidak heran bahwa Badan Inteljen Negara (BIN) melaporkan sebanyak 39% siswa di Indonesia terpapar radikalisme .
Moderasi beragama bagi Indonesia yang masyarakatnya multikultural tentu bukan merupakan sebuah opsi, melainkan keharusan untuk mengamalkannya di tingkat lokal, nasional dan global. Oleh karenanya penting sekali gagasan kebangsaan ini untuk dibawa ke ruang – ruang diskursus seperti kampus, sekolah, pesantren, pengajian, dan forum – forum lainnya agar dijadikan modal utama bagi generasi penerus bangsa dalam merawat keindonesiaan.